Hadits 11: Tinggalkanlah Keragu- Raguan عَنْ أَبِي مُحَمَّدٍ الحَسَنِ بنِ عَلِيّ بنِ أبِي طالبٍ سِبْطِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَرَيْحَانَتِهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: حَفِظْت مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم : (دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ) رواه الترمذي والنسائي وقال الترمذي: حديث حسن صحيح. Dari Abi Muhammad Al Hasan bin 'Ali bin Abi Thalib -cucu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan kesayangannya-Radhiallahu 'Anhuma, dia berkara: Saya telah menghafal dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam: "Tinggalkan apa-apa yang kamu ragukan, menuju apa-apa yang kamu tidak ragu." (Diriwayatkan At Tirmidzi, An Nasa'i, dan At Tirmidzi berkata: hadits hasan shahih) Takhrij Hadits:
-Imam At Tirmidzi dalam Sunannya No. 2518
-Imam Ahmad dalam Musnadnya No. 1723 , 1727
-Imam Ad Darimi dalam Sunannya No. 165, dari jalan Abdullah bin Mas'ud
-Imam Al Hakim dalam Al Mustadrak 'Ala Ahs Shahihain No. 2169 , katanya: isnadnya shahih, Al Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya. Juga No. 2170 dan 7046, dengan sanad yang berbeda.
-Imam Ibnu Hibban dalam Shahihnya No. 722
-Imam Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 10602 , juga dalam Syu'abul Iman No. 5747
-Imam Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya No. 2348
-Imam Abu Ya'la dalam Musnadnya No. 6762 , juga No. 7492 dari jalan Watsilah bin Al Asqa'
-Imam Ath Thabarani dalam Al Mu'jam Al Kabirnya No. 26 dari Ibnu Umar, No. 102 dari Ibnu Umar, No. 2642 dari Al Hasan bin Ali, No. 2645 dari Al Hasan bin Ali. No. 17658 dari Watsilah bin Al Asqa', No. 17854 dari Wabishah bin Ma'bad
-Dan lainnya.
Syaikh Syu'aib Al Arnauth Rahimahullah mengatakan dalam tahqiqnya terhadap Musnad Ahmad: "Isnaduhu shahih - isnadnya shahih." (Musnad Ahmad No. 1723. Muasasah Ar Risalah, dengan tahqiq; Syaikh Syu'aib Al Arnauth, Syaikh Adil Mursyid, et.al) Makna Hadits Secara Global:
Bagi seorang muslim hendaknya beramal berdasarkan keyakinan, berjalan di atas keyakinan, menerima dan menolak dengan keyakinan pula. Dasar dari keyakinan adalah ilmu. Ada pun keraguan dan persangkaan tidaklah membawa sedikit pun pada kebenaran.
Allah Ta'ala berfirman;
إِنَّ الظَّنَّ لا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
"Sesungghnya persangkaan itu tidaklah sedikit pun membawa pada kebenaran.." (QS. Yunus (10 ): 36)
Hadits ini memuat salah satu dasar dan kaidah yang besar dalam Islam, khususnya dalam dunia fiqih. Keyakinan tidak bisa dikalahkan oleh keraguan dan kesamaran, sebagaimana kepastian dari sebuah fakta tidak bisa dianulir dari asumsi akal manusia. Oleh karena itu para ulama membuat sebuah kaidah ushul:
اليقين لا يزال بالشك
"Keyakinan tidak bisa dikalahkan oleh keraguan." (Imam As Suyuthi, Al Asybah wan Nazhair, Kaidah No. 12)
Kaidah ini juga didasarkan pada hadits berikut:
إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنْ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
"Jika salah seorang kalian mendapatkan sesuatu di perutnya dan merasa terganggu/gelisah karenanya; apakah ada sesuatu yang keluar darinya atau tidak, maka jangan dulu keluar dari masjid sampai dia mendengar suara atau adanya angin yang keluar." (HR. Muslim No. 362 , Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 569 , Ibnu Khuzaimah No. 24 , Ad Darimi No. 721, semua dari Abu Hurairah)
Atau riwayat lain, dari Abdullah bin Zaid, katanya:
شُكِيَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلُ يُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهُ يَجِدُ الشَّيْءَ فِي الصَّلَاةِ قَالَ لَا يَنْصَرِفُ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
"Dikeluhkan kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam seorang laki-laki yang menyangka bahwa dia merasakan sesuatu dalam shalat. Maka Beliau bersabda: "Jangan hentikan (shalat), sampai mendengar suara atau mendapatkan adanya angin yang keluar." (HR. Bukhari No. 137 , 1951 . Muslim No. 361 . Abu Daud No. 176 . Ibnu Majah No. 513 . Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 555 , 3190 , 14910 . Ibnu Khuzaimah No. 1018)
Dua riwayat ini menunjukkan bahwa keragu-raguan (syak) tidak boleh mengalahkan keyakinan. Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam membimbing umatnya agar mengikuti yang lebih meyakinkan.
Dalam konteks riwayat di atas, yang terpenting bukan semata- mata adanya suara dan bau, tetapi perasaan yakin itu sendiri. Sebab, tidak sedikit ada -maaf- kentut yang tidak bersuara dan tidak bau. Oleh karena itu Khadimus Sunnah, Asy Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:
وليس السمع أو وجدان الرائحة شرطا في ذلك، بل المراد حصول اليقين وبخروج شئ منه.
"Dalam hal ini, mendengar adanya suara dan mendapatkan bau bukanlah syarat. Tetapi yang dimaksud adalah mendapatkan keyakinan dengan keluarnya sesuatu darinya." (Fiqhus Sunnah, 1 /52. Darul Kitab Al 'Arabi)
Bahkan apa yang dikatakan oleh Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah merupakan ijma' (konsensus/kesepakatan) kaum muslimin, seperti yang dikatakan oleh Al Imam An Nawawi Rahimahullah berikut:
وَلَا يُشْتَرَط السَّمَاع وَالشَّمّ بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ
"Tidaklah mendengar suara dan mencium bau dijadikan syarat menurut ijma' kaum muslimin." (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2 /75. Mawqi' Ruh Al Islam)
Wallahu A'lam
3. Hadits ini juga memuat larangan menjatuhkan diri dalam perkara yang samar (syubhat), paling tidak agar kita berhati-hati dalam perkara yang masih samar.
Dari 'Athiyah As Sa'di Radhiallahu 'Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
لَا يَبْلُغُ الْعَبْدُ أَنْ يَكُونَ مِنْ الْمُتَّقِينَ حَتَّى يَدَعَ مَا لَا بَأْسَ بِهِ حَذَرًا لِمَا بِهِ الْبَأْسُ
"Seorang hamba tidaklah sampai derajat taqwa sampai dia meninggalkan sesuatu yang boleh karena kehati-hatian terhadapnya menjadi sesuatu yang terlarang." (HR. At Tirmidzi No. 2451 , At Tirmidzi berkata: "hadits hasan gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalur ini." Ibnu Majah No. 4215 , Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 7899 , katanya: "isnadnya shahih." Syaikh Al Albani menghasankan dalam Tahqiq Misykah Al Mashabih No. 2775 , namun dia mendhaifkan dalam kitabnya yang lain, seperti Dhaiful Jami' No. 6320 , Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 2451 , Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah No. 4215, dan lainnya)
Makna Kata dan Kalimat:
عَنْ أَبِي مُحَمَّدٍ الحَسَنِ بنِ عَلِيّ بنِ أبِي طالبٍ: dari Abi Muhammad Al Hasan bin Ali bin Abi Thalib
Abu Muhammad adalah kun- yahnya. Nama aslinya adalah Al Hasan, anak pertama dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu 'Anhu. Tadinya, Ali ingin menamakannya dengan harb (perang), tetapi Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam memberikan nama Al Hasan.
Ali Radhiallahu 'Anhu berkata:
كُنْتُ رَجُلا أُحِبُّ الْحَرْبَ ، فَلَمَّا وُلِدَ الْحَسَنُ هَمَمْتُ أَنْ أُسَمِّيَهُ حَرْبًا ، فَسَمَّاهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَسَنَ ، فَلَمَّا وُلِدَ الْحُسَيْنُ هَمَمْتُ أَنْ أُسَمِّيَهُ حَرْبًا ، فَسَمَّاهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحُسَيْنَ
"Saya adalah laki-laki yang suka perang, ketika Al Hasan lahir saya ingin menamakannya dengan harb, namun Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menamakannya dengan Al Hasan. Ketika lahir Al Husein, saya ingin menamakannya dengan harb, namun Beliau menamakannya dengan Al Husein." (Diriwayatkan oleh Ath Thabarani No. 2777 , Adz Dzahabi dalam As Siyar, 3 /247 , Al Haitsami dalam Majma' Az Zawaid, 8 /52, katanya: rijalnya shahih)
Dia dilahirkan pada bulan Sya'ban tahun ketiga hijriyah. Ada pula yang mengatakan pertengahan Ramadhan. Az Zubeir bin Bakar mengatakan bahwa Al Hasan dilahirkan pada pertengahan Ramadhan tahun ketiga Hijriyah. Imam Adz Dzahabi mengatakan bahwa yang lebih benar adalah dia dilahirkan pada bulan Sya'ban. (As Siyar, 3 / 246-248)
سِبْطِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَرَيْحَانَتِهِ : cucu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan kesayangannya..
As Sibthu adalah cucu dari anak perempuan, sedangkan Hafiid ( حفيد ) adalah cucu dari anak laki- laki. Jadi, karena Al Hasan adalah anak dari putri Rasulullah Shallallah 'Alaihi wa Sallam, yakni Fathimah Radhiallah 'Anha, maka dia disebut As Sibthu.
Dia disebut raihanah (wewangian-kesenangan), karena Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda tentang Al Hasan dan Al Husein:
هما ريحانتاي من الدنيا
"Mereka berdua adalah wewangian/kesenangan saya di dunia." (HR. Bukhari No. 3543 . At Tirmidzi No. 3770)
Berkata Syaikh Ibnul 'Utsaimin Rahimahullah:
الريحانة هي تلك الزهرة الطيبة الرائحة
"Raihanah adalah bunga yang harum aromanya." (Syarhul Arbain An Nawawiyah, Hal. 149)
Abu Juhaifah mengatakan Al Hasan adalah yang perawakannya mirip dengan kakeknya. (As Siyar, 3 /248). 'Uqbah bin Al Harits menceritakan:
صلى بنا أبو بكر العصر، ثم قام وعلي يمشيان، فرأى الحسن يلعب مع الغلمان، فأخذه أبو بكر، فحمله على عنقه، وقال: بأبي شبيه النبي ليس شبيه بعلي وعلي يتبسم.
"Abu Bakar shalat ashar bersama kami, lalu dia dan Ali berdiri lalu berjalan berdua, dia melihat Al Hasan bermain bersama dua anak laki-laki, lalu Abu Bakar mengambilnya dan menggendongnya di atas lehernya, dan dia berkata: "Demi ayahku, dia mirip dengan Nabi, tidak mirip dengan Ali," dan Ali pun tersenyum." (Ibid, 3 /249 . Lihat juga Bukhari dalam Shahihnya No. 3540, dengan lafaz: " dan Ali pun tertawa.")
Anas bin Malik Radhiallahu 'Anhu, berkata:
لَمْ يَكُنْ أَحَدٌ أَشْبَهَ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ
"Tidak seorang pun yang mirip dengan Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dibandingkan Al Hasan bin Ali." (HR. Bukhari no. 3542)
Al Hasan Radhiallahu 'Anhu memiliki banyak keutamaan, Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menyebutnya sebagai Sayyid (pemimpin-tuan) bagi umat ini yang akan mendamaikan dua kelompok umat Islam yang bertikai.
Tertera dalam Shahih Bukhari:
إِنَّ ابْنِي هَذَا سَيِّدٌ وَلَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ عَظِيمَتَيْنِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ
"Sesungguhnya anakku ini adalah seorang pemimpin, melaluinya Allah akan mendamaikan antara dua kelompok besar dari kaum muslimin." (HR. Bukhari No. 2704) Saat itu pasca syahidnya Ali bin Abi Thalib Radhiallahu 'Anhu - saat itu pertikaian masih berkecamuk dengan Mu'awiyah Radhiallahu 'Anhu, naiklah Al Hasan menjadi khalifah yang tentunya membuat tidak puas pengikut Mu'awiyah Radhiallah 'Anhu. Namun, dengan jiwa besar Al Hasan mengundurkan diri dari jabatannya dan digantikan Mu'awiyah Radhiallahu 'Anhu. Di sisi lain, Al Hasan pun mampu memberikan pengertian kepada pengikut Ali Radhiallahu 'Anhu, sehingga kedua belah pihak bisa didamaikan.
Syaikh Ibnul 'Utsaimin Rahimahullah mengomentari hadits Bukhari di atas:
وكان الأمر كذلك، فإنه بعد أن استشهد علي بن أبي طالب رضي الله عنه وبويع بالخلافة للحسن تنازل عنها لمعاوية رضي الله عنه، فأصلح الله بهذا التنازل بين أصحاب معاوية وأصحاب علي رضي الله عنهما، وحصل بذلك خير كثير.
"Saat itu begitulah kejadiannya, setelah mati syahidnya Ali bin Abi Thalib Radhiallahu 'Anhu dan Al Hasan dibai'at menjadi Khalifah, lalu dia menyerahkan jabatan itu kepada Mu'awiyah Radhiallahu 'Anhu. Maka, dengan pengunduran diri ini Allah damaikan antara pengikut Mu'awiyah dan Ali Radhiallah 'Anhuma, dan dari situ hasilnya adalah kebaikan yang banyak. (Syarhul Arbain An Nawawiyah, hal. 148)
Selain itu, Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam juga begitu mencintai Al Hasan. Diriwayatkan dari Al Bara bin 'Azib Radhiallahu 'Anhu, katanya:
رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ عَلَى عَاتِقِهِ يَقُولُ اللَّهُمَّ إِنِّي أُحِبُّهُ فَأَحِبَّهُ
"Aku melihat Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan Al Hasan bin Ali ada di pundaknya, beliau bersabda: Ya Allah saya mencintainya, maka cintailah dia." (HR. Bukhari No. 3539)
Beliau wafat karena diracuni pada tahun lima puluh hijriyah, berikut ini keterangan Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah:
وَكَانَ مَوْلِد الْحَسَن فِي رَمَضَان سَنَة ثَلَاث مِنْ الْهِجْرَة عِنْد الْأَكْثَر ، وَقِيلَ بَعْد ذَلِكَ ، وَمَاتَ بِالْمَدِينَةِ مَسْمُومًا سَنَة خَمْسِينَ وَيُقَال قَبْلهَا وَيُقَال بَعْدهَا
"Al Hasan lahir pada Ramadhan tahun ketiga Hijriyah menurut mayoritas ulama, dan ada yang menyebut setelah itu. Dan, wafat di Madinah karena diracun pada tahun lima puluh Hijriyah, ada yang mengatakan sebelumnya ada pula yang mengatakan sesudahnya." (Fathul Bari, 7 /95 . Darul Fikr. Lihat juga Syaikh Abul 'Ala Muhammad Abdurrahman Al Mubarkafuri, Tuhfah Al Ahwadzi, 10 /272. Al Maktabah As Salafiyah)
Kedudukan Al Hasan Radhiallahu 'Anhu, lebih utama dibanding Al Husein Radhiallahu 'Anhu, hanya saja kaum Rafidhah (syiah) telah berlebihan terhadap Al Husein lantaran terbunuhnya Beliau di Karbala.
Berkata Syaikh Ibnul 'Utsaimin Rahimahullah:
وهو أفضل من أخيه الحسين رضي الله عنهما،لكن تعلقت الرافضة بالحسين لأن قصة قتله رضي الله عنه تثير الأحزان، فجعلوا ذلك وسيلة، ولو كانوا صادقين في احترام آل البيت لكانوا يتعلقون بالحسن أكثر من الحسين،لأنه أفضل منه.
Dia (Al Hasan) lebih afdhal dibanding saudaranya, Al Husein Radhiallahu 'Anhuma, tetapi Rafidhah mencintai Al Husein karena peristiwa terbunuhnya Radhiallahu 'Anhu yang menimbulkan kesedihan, dan mereka menjadikan peristiwa itu sebagai alasan untuk itu. Seandainya mereka jujur dalam menghormati Alu Bait (keluarga Nabi), niscaya mereka lebih banyak mencintai Al Hasan dibanding Al Husein, karena dia lebih utama darinya." (Syarhul Arbain An Nawiyah, Hal. 149)
Selanjutnya:
رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا : Semoga Allah meridhai keduanya
Yaitu semoga Allah 'Azza wa Jalla meridhai Al Hasan dan ayahnya, Ali bin Abi Thalib.
Selanjutnya:
قَالَ: حَفِظْت مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم: Dia berkata: Saya telah menghafal dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
Al Hasan Radhiallahu 'Anhu mendengarkan hadits ini langsung dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Bukan hanya dari kakeknya, beliau juga meriwayatkan hadits dari ayah dan ibunya.
Berkata Imam Adz Dzahabi Rahimahullah:
وحفظ عن جده أحاديث، وعن أبيه، وأمه.
حدث عنه: ابنه الحسن بن الحسن، وسويد بن غفلة، وأبو الحوراء السعدي، والشعبي، وهبيرة بن يريم، وأصبغ بن نباتة، والمسيب بن نجبة.
"Dia menghafal hadits dari kakeknya, ayahnya, dan ibunya. Sementara yang meriwayatkan hadits darinya: anaknya Al Hasan bin Al Hasan, Suwaid bin Ghaflah, Abul Haura As Sa'di, Asy Sya'bi, Hubairah bin Yarim, Ashbagh bin Nabatah, dan Al Musayyib bin Najbah." (As Siyar, 3 /246)
Selanjutnya:
دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ : Tinggalkan apa-apa yang kamu ragukan kepada yang tidak meragukanmu
Yaitu tinggalkan, kesampingkan, dan jauhi yang kamu bimbang, gelisah, risau, dan masih samar, beralihlah ke yang tidak melahirkan keraguan bagimu.
Berkata Syaikh Ibnu 'Utsaimin Rahimahullah:
وقوله: "دَعْ" أي اترك "مَا يرِيْبُكَ" أي ما يلحقك به ريب وشك وقلق إِلَى "مَا لاَ يَرِيْبُكَ" أي إلى شيءٍ لايلحقك به ريبٌ ولا قلق
"Sabdanya: Da' yaitu tinggalkan,- Maa Yariibuka-yaitu apa-apa yang dengannya membuat kamu ragu, bimbang, dan gelisah kepada - Maa Laa Yariibuka- yaitu kepada suatu yang tidak membuatmu ragu dan gelisah." (Syarhul Arbain An Nawawiyah, Hal. 149)
Ada pun Syaikh Abul 'Ala Muhammad bin Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarkafuri Rahimahullah menjelaskan:
وَالْمَعْنَى اُتْرُكْ مَا تَشُكُّ فِيهِ مِنْ الْأَقْوَالِ وَالْأَعْمَالِ أَنَّهُ مَنْهِيٌّ عَنْهُ أَوْ لَا أَوْ سُنَّةٌ أَوْ بِدْعَةٌ وَاعْدِلْ إِلَى مَا لَا تَشُكُّ فِيهِ مِنْهُمَا وَالْمَقْصُودُ أَنْ يَبْنِيَ الْمُكَلَّفُ أَمْرَهُ عَلَى الْيَقِينِ الْبَحْتِ وَالتَّحْقِيقِ الصِّرْفِ وَيَكُونَ عَلَى بَصِيرَةٍ فِي دِينِهِ
"Maknanya: tinggalkan apa saja yang engkau ragu baik berupa perbuatan dan perkataan, bahwa hal itu dilarang atau tidak, atau sunah, atau bid'ah, lalu luruskan kepada sesuatu yang tidak kau ragu di antara keduanya. Maksudnya adalah hendaknya seorang mukallaf melaksanakan urusannya di atas keyakinan yang murni dan penelitian yang murni pula, dan menjadikannya di atas mata hati yang tajam pada agamanya." (Tuhfah Al Ahwadzi, 7 /221 . Cet. 2. 1963 M-1383H. Al Maktabah As Salafiyah, Madinah Al Munawarah)
Contoh dalam hal ini: Kita sudah berwudhu dan shalat zhuhur, menjelang shalat ashar terjadi kebimbangan apakah sudah batal wudhu zhuhur atau masih suci. Tak ada kejelasan dalam hal ini. Maka, hendaknya kita mengambil sikap yang pasti bahwa kita meyakini masih suci dan belum batal, lalu shalat ashar dengan wudhu zhuhur.
Wallahu A'lam
Tags: syarah hadits arbain