Insane


Hadits 16: Jangan Marah
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رجلا قال للنبي صلى الله عليه وسلم : أوصني قال : " لا تغضب " فردد مِرارا, قال : لا تغضب
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa ada seorang laki- laki berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam: "Berilah wasiat kepadaku". Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Janganlah engkau mudah marah". Maka diulanginya permintaan itu beberapa kali. Sabda beliau : "Janganlah engkau mudah marah".
[Bukhari no. 6116]

Takhrij Hadits:
-Imam Bukhari dalam Shahihnya No. 6116
-Imam At Tirmidzi dalam Sunannya No. 2020
-Imam Ahmad dalam Musnadnya No. 10011
-Imam Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah No. 3580
-Imam Abu Nu'aim dalam Akhbar Ashbahan, 1 /340
-Dll
Makna Hadits Secara Global
Hadits yang singkat ini memiliki banyak muatan dan ajaran, di antaranya:
1. Hendaknya seorang muslim terbiasa dengan budaya saling mewasiatkan dalam kebaikan.
2. Isi wasiat hendaknya yang baik-baik seperti nasihat taqwa, berakhlak baik, dan yang semisalnya. Ini juga menunjukkan bahwa wasiat tidak selalu identik dengan masalah harta.
3. Bolehnya minta diberikan wasiat berupa nasihat dari ulama dan orang shalih.
4. Sebaliknya, bagi yang dimintakan wasiat agar tidak segan memberikan wasiat.
5. Anjuran yang sangat kuat untuk menahan marah, hal ini dibuktikan dengan pengulangan: jangan marah, hingga berkali- kali. Ini juga menunjukkan bahwa menahan marah adalah yang sangat penting sampai- sampai itu dijadikan wasiat oleh Nabi Shallallahu 'Alaihi wa sallam.
Makna Kata dan kalimat
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : dari Abu Hurairah Radhiallahu 'Anhu
Tentang Abu Hurairah Radhiallahu 'Anhu telah dibahas pada syarah hadits ke 9.
أَنَّ رَجُلًا : bahwasanya ada seorang laki-laki
Tidak dijelaskan siapa laki-laki tersebut, yang jelas dia termasuk sahabat Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, sebab dia seorang muslim yang langsung berinteraksi dengan Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
Siapakah sahabat nabi ? Telah banyak penjelasan dari para ulama, di antaranya tercatat dalam Al Qamus Al Fiqhiy sebagai berikut:
Imam Al Jurjani Rahimahullah mengatakan:
من رأى النبي صلى الله عليه وسلم، وطالت صحبه، وإن لم يرو عنه
Siapa saja yang melihat Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan bersahabat dalam waktu yang lama, walau pun mereka tidak meriwayatkan hadits darinya.
Pendapat ahli hadits, mayoritas ahli fiqih baik salaf dan khalaf, dan yang shahih dari Madzhab Syafi'iyah, Hanabilah, dan Ibadhiyah, sahabat nabi adalah:
هو كل مسلم رأى النبي صلى الله عليه وسلم، سواء جالسه، أم لا.
Dia adalah setiap muslim yang melihat Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, sama saja apakah dia pernah duduk bersamanya atau tidak.
Imam Sa'id bin Al Musayyib Radhiallahu 'Anhu (menantu Abu Hurairah), menjelaskan:
من أقام مع النبي صلى الله عليه وسلم سنة، فصاعدا، أو غزا معه غزوة.
Siapa saja yang menetap bersama Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam selama setahun atau lebih atau berperang bersamanya dalam sebuah peperangan.
Menurut madzhab Malikiyah:
من اجتمع بالنبي صلى الله عليه وسلم في حياته، مؤمنا به، ومات على ذلك.
Siapa saja yang berkumpul bersama Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dalam hidupnya, dia mengimaninya, dan mati dalam keadaan demikian.
Sebagian ahli ushul mengatakan:
من لقي النبي صلى الله عليه وسلم مسلما، ومات على الاسلام، أو قبل النبوة ومات قبلها على الحنفية، كزيد بن عمرو بن نفيل، أو ارتد وعاد في حياته.
Siapa saja yang berjumpa Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sebagai seorang muslim, dan dia mati dalam Islam, atau dia hidup sebelum masa kenabian dan mati sebelum masa kenabian dalam keadaan agama yang hanif, seperti Zaid bin Amru bin Nufail, atau orang yang murtad dan kembali kepada Islam pada masa hidupnya (Nabi). (Lihat Syaikh Sa'diy Abu Jaib, Al Qamus Al Fiqhiy, Hal. 208 . Cet. 2 , 1988M. Darul Fikr)
Syaikh 'Athiyah Muhamamd Salim menjelaskan:
من رآه ولو لحظة وهو مؤمن به ومات على الإسلام
Siapa saja yang melihatnya walau sesaat dan dia mengimaninya dan dia mati dalam keadaan Islam. (Syarh Bulughul Maram, 7 /178)
Sedangkan mayoritas ulama terdahulu dan belakangan mengatakan:
هو أن الصحابي من لقى النبي صلى الله عليه وسلم مؤمنا به ومات على الاسلام
Sahabat nabi adalah siapa saja yang berjumpa dengan Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam yang mengimaninya dan dia mati dalam keadaan Islam. (Imam Al 'Ijliy, Ma'rifah Ats Tsiqat, hal. 95 . Cet. 1 , 1985 M-1405H. Maktabah Ad Dar)
Dan inilah definisi yang anggap kuat oleh Al Hafizh Ibnu Hajar. (Al Ishabah fi Tamyizish Shahabah, 1 /7)
Bagaimanakah yang termasuk perjumpaan dengan nabi?
فَيَدْخُل فِيمَنْ لَقِيَهُ : مَنْ طَالَتْ مُجَالَسَتُهُ لَهُ ، وَمَنْ قَصُرَتْ ، وَمَنْ رَوَى عَنْهُ ، وَمَنْ لَمْ يَرْوِ عَنْهُ ، وَمَنْ غَزَا مَعَهُ ، وَمَنْ لَمْ يَغْزُ مَعَهُ ، وَمَنْ رَآهُ رُؤْيَةً وَلَوْ مِنْ بَعِيدٍ ، وَمَنْ لَمْ يَرَهُ لِعَارِضٍ ، كَالْعَمَى.
Maka yang termasuk orang yang berjumpa dengannya adalah: siapa saja yang lama bermajelis dengannya, siapa saja yang sebentar bersamanya, yang meriwayatkan hadits darinya, yang tidak meriwayatkan hadits darinya, siapa saja yang berperang dengannya, siapa saja yang tidak berperang dengannya, siapa saja yang meilhatnya walau dari jauh, dan siapa saja yang belum melihatnya karena penghalang seperti kebutaan. (Al Mausu'ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 34 /81)
Jadi, jika kita rangkum semua makna ini maka sahabat nabi adalah seorang muslim yang hidup pada masa nabi, baik melihatnya atau tidak, lama atau sebentar, berinteraksi langsung atau tidak, dan dia mati dalam keadaan Islam, termasuk siapa saja yang sempat murtad lalu dia kembali kepada Islam.
Demikian tentang makna sahabat nabi. Wallahu A'lam
Ada pun rajul (laki-laki) yang minta wasiat kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tersebut, tidaklah diketahui identitas pastinya. Hal ini disebabkan tidak dibutuhkan untuk mengetahui identitas laki- laki tersebut, yang terpenting adalah muatan haditsnya. Di sisi lain Ahlus Sunnah sepakat bahwa semua sahabat nabi adalah adil, maka walau pun tidak disebutkan identitas laki-laki tersebut, maka dia tetap terpercaya karena termasuk sahabat Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
Berkata Syaikh Muhamamd bin Shalih Al 'Utsaimin Rahimahullah:
لم يبيَّن هذا الرجل، وهذا يأتي كثيراً في الأحاديث لايبيّن فيها المبهم، وذلك لأن معرفة اسم الرجل أو وصفه لايُحتاج إليه، فلذلك تجد في الأحاديث: أن رجلاً قال كذا
Tidak dijelaskan tentang laki-laki ini, dan yang seperti ini terjadi pada banyak hadits yang di dalamnya tidak dijelaskan kesamarannya. Hal itu disebabkan pengetahuan terhadap nama orang tersebut dan sifatnya tidak dibutuhkan. Oleh karena itu ditemukan pada berbagai hadits: Sesungguhnya seorang laki-laki berkata begini. (Syaikh Ibnul 'Utsaimin, Syarhul Arbain An Nawawiyah, hal. 172)
Namun, ada pandangan lain bahwa laki-laki tersebut adalah seorang sahabat nabi yakni Abu Ad Darda Radhiallahu 'Anhu, ada juga yang mengatakan Jariyah bin Qudamah, seorang tabi'iy (generasi setelah sahabat nabi). Namun ini pun tidak pasti, atau masih berbagai kemungkinan. Sebab dalam beberapa riwayat lain diberikan keterangan memang bahwa laki-laki tersebut adalah Abu Ad Darda, Ibnu Umar, Jariyah bin Qudamah, dan Sufyan bin Abdillah Ats Tsaqafiy.
Hal ini dikatakan oleh Syaikh Ismail bin Muhammad Al Anshari Rahimahullah sebvagai berikut:
رجلا : لعله أبو الدرداء ، والقول بأنه جارية بن قدامة عارضه يحيى القطان بأن جارية المذكور تابعي لا صحابي.
Laki-laki: barangkali dia adalah Abu Ad Darda', dan pendapat yang menyebutkan bahwa dia adalah Jariyah bin Qudamah telah ditentang oleh Yahya Al Qaththan, dengan disebutkan bahwa dia adalah Jariyah, maka dia seorang tabi'iy, bukan sahabat. (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, Syarah No. 16)
Al Hafizh Ibnu Hajar Al 'Asqalani Rahimahullah menjelaskan lebih rinci tentang siapa 'laki-laki' dalam hadits tersebut:
هُوَ جَارِيَة بِالْجِيمِ اِبْن قُدَامَةَ أَخْرَجَهُ أَحْمَد وَابْن حِبَّان وَالطَّبَرَانِيُّ مِنْ حَدِيثه مُبْهَمًا وَمُفَسَّرًا ، وَيَحْتَمِل أَنْ يُفَسَّر بِغَيْرِهِ ، فَفِي الطَّبَرَانِيِّ مِنْ حَدِيث سُفْيَان بْن عَبْد اللَّه الثَّقَفِيّ " قُلْت يَا رَسُول اللَّه قُلْ لِي قَوْلًا أَنْتَفِع بِهِ وَأَقْلِلْ ، قَالَ : لَا تَغْضَب ، وَلَك الْجَنَّة " وَفِيهِ عَنْ أَبِي الدَّرْدَاء " قُلْت : يَا رَسُول اللَّه دُلَّنِي عَلَى عَمَل يُدْخِلنِي الْجَنَّة ، قَالَ : لَا تَغْضَب " وَفِي حَدِيث اِبْن عُمَر عِنْدَ أَبِي يَعْلَى " قُلْت يَا رَسُول اللَّه قُلْ لِي قَوْلًا وَأَقْلِلْ لَعَلِّي أَعْقِلهُ " .
Dia adalah Jariyah - dengan huruf Jim- bin Qudamah, telah dikeluarkan oleh Ahmad, Ibnu hibban, dan Ath Thabarani dari hadits yang mubham (belujm jelas) dan mufassaran (jelas/rinci), dan hadits ini menafsirkan yang lainnya. Dan, pada riwayat Ath Thabarani dari hadits Sufyan bin Abdillah Ats Tsaqafiy, "Saya berkata: Ya Rasulullah, katakanlah kepadaku perkataan yang bisa aku peroleh manfaatnya dan sedikit saja." Beliau bersabda: "Jangan marah, dan untukmu surga." Dan pada riwayat Abu Ad Darda, "Aku berkata: Ya Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku kepada perbuatan yang dapat memasukkanku ke dalam surga." Beliau bersabda: "Jangan marah." Dan pada hadits Ibnu Umar yang dikeluarkan oleh Abu Ya'la, "Aku berkata: Ya Rasulullah, katakanlah kepadaku perkataan dan sedikit saja dan semoga saya bisa memahaminya." (Fathul Bari, 10 /519. Darul Fikr)
Namun demikian, semua rincian ini tidaklah menunjukkan kepastian siapa laki-laki tersebut -khususnya pada riwayat Abu Hurairah yang kita bahas ini- walau banyak penjelasan dari para ulama.
Berkata Syaikh Ibnul Utsaimin Rahimahullah:
وتجد بعض العلماء يتعب تعباً عظيماً في تعيين هذا الرجل، والذي أرى أنه لاحاجة للتعب مادام الحكم لايتغير بفلان مع فلان.
Ada sebagian ulama yang telah bersusah payah dengan amat sangat dalam memastikan laki- laki ini, dan yang menjadi pendapat saya adalah tidaklah diperlukan bersusah payah dalam hal ini selama hukumnya tidak berubah karena perubahan si fulan dengan si fulan. (Syarhul Arbain An Nawawiyah, Hal. 172)

قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : dia (laki-laki) berkata kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
أَوْصِنِي : berilah aku wasiat
Yakni berikanlah aku wasiat yang bermanfaat dan bisa aku amalkan untuk kebaikan kehidupan duniaku dan akhiratku.
Syaikh Ibnul 'Utsaimin Rahimahullah menjelaskan:
الوصية: هي العهد إلى الشخص بأمر هام، كما يوصي الرجل مثلاً على ثلثه أوعلى ولده الصغير أو ما أشبه ذلك.
Wasiat adalah janji kepada sesorang dengan urusan yang penting, sebagaimana seorang laki-laki yang mewasiatkan - misalnya- terhadap sepertiga hartanya, atau anaknya yang kecil, atau yang seperti itu. (Syarhul Arbain An Nawawiyah, Hal. 172)
Beberapa riwayat lain menyebutkan dengan kalimat selain awshiniy (wasiatkan aku), sebagaimana yang disebutkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar berikut:
فِي حَدِيث أَبِي الدَّرْدَاء " دُلَّنِي عَلَى عَمَل يُدْخِلنِي الْجَنَّة " وَفِي حَدِيث اِبْن عُمَر عِنْدَ أَحْمَد " مَا يُبَاعِدنِي مِنْ غَضَب اللَّه " زَادَ أَبُو كُرَيْبٍ عَنْ أَبِي بَكْر بْن عَيَّاش عِنْدَ التِّرْمِذِيّ " وَلَا تُكْثِر عَلَيَّ لَعَلِّي أَعِيه " وَعِنْدَ الْإِسْمَاعِيلِيّ مِنْ طَرِيق عُثْمَان بْن أَبِي شَيْبَة عَنْ أَبِي بَكْر بْن عَيَّاش نَحْوه.
Dalam hadits Abu Ad Darda, "Tunjukkan kepadaku kepada amal yang dapat memasukkanku ke dalam surga." Dalam hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan Imam Ahmad, "Apakah yang dapat menjauhkan aku dari murka Allah?" Abu Kuraib menambahkan, dari Abu Bakar bin 'Ayyasy yang diriwayatkan oleh Imam At Tirmidzi, "Jangan banyak-banyak untukku barang kali saya ini lemah." Dan diriwayatkan oleh Isma'ili dari jalan 'Utsman bin Abi Syaibah dari Abu Bakar bin 'Ayyasy yang semisal ini. (Fathul Bari, 10 /519)
Macam-Macam Wasiat
Secara umum saling wasiat mewasiati boleh-boleh saja dilakukan kapan saja, tanpa terikat waktu dan sebab apa pun, dengan isi pesan apa saja yang baik-baik sebagaimana yang nampak dalam hadits ini. Tetapi, ada wasiat yang definit dan terjadi karena adanya sebab khusus. Di antaranya:
1. Wasiat taqwa dari khathib Jum'at kepada jamaah
Ini adalah hal yang sudah masyhur bahwa khathib senantiasa mewasiatkan kepada jamaah agar takut kepada Allah Ta'ala, mentaatiNya dengan mengerjakan perintahNya dan menjauhi laranganNya. Bahkan sebagian ulama menjadikan wasiat taqwa termasuk rukun khutbah Jumat. Boleh saja dilakukan dengan berbagai lafaz, baik mengutip ayat: ittaqullaha haqqa tuqaatih..., atau hadits: ittaqillaha haitsu maa kunta... atau: ushiikum wa nafsiy bitaqwallah.. dan sebagainya yang semakna dengan ini.
Syaikh Abdurrahman Al Jaza'iri menyebutkan dalam kitab Al Fiqh 'Alal Madzaahib Al Arba'ah, bahwa menurut kalangan Syafi'iyah rukun khutbah Jumat itu ada lima: 1 . Memuji Allah (hamdalah). 2 . Shalawat kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, 3 . Wasiat taqwa. 4 . Membaca Al Quran paling tidak pada sakah satu khutbah. 5. Berdoa untuk kaum mu'minin dan mu'minat. (Detilnya lihat di kitab Al Fiqh 'Alal Madzaahib Al Arba'ah, 1 /606. Syamilah) [1]

2. Wasiat kepada orang yang hendak safar (bepergian)
Hal ini langsung dicontohkan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sebagai berikut:
عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ اسْتَأْذَنْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْعُمْرَةِ فَأَذِنَ لِي وَقَالَ لَا تَنْسَنَا يَا أُخَيَّ مِنْ دُعَائِكَ فَقَالَ كَلِمَةً مَا يَسُرُّنِي أَنَّ لِي بِهَا الدُّنْيَا
Dari Umar Radhiallahu 'Anhu, katanya: Saya meminta izin kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam untuk umrah, maka Beliau mengizinkan aku, dan bersabda: "Jangan kau lupakan kami wahai saudara pada doamu." Umar berkata: "Ini adalah kata yang dengannya membuatku merasa paling bahagia di dunia." (HR. Abu Daud No. 1498 , Ahmad No. 195 , Alauddin Al Muttaqi Al Hindi dalam Kanzul 'Ummal No. 1293 , Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 10095)
Sedangkan dalam riwayat Imam At Tirmidzi dengan lafaz yang agak berbeda:
عَنْ عُمَرَ أَنَّهُ اسْتَأْذَنَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْعُمْرَةِ فَقَالَ أَيْ أُخَيَّ أَشْرِكْنَا فِي دُعَائِكَ وَلَا تَنْسَنَا
Dari Umar bahwasanya dia minta izin kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam untuk umrah. Maka Beliau betrsabda: "Wahai saudara, ikursertakanlah kami dalam doamu dan jangan lupakan kami." (HR. At Tirmidzi No. 3562, beliau berkata: hasan shahih)
Imam An Nawawi mengatakan: hadits shahih. (Riyadhush Shalihin, Hal. 146-147 . Cet. 3 , 1998 M-1419H. Muasasah Ar Risalah. Beirut, Libanon)
Namun, semua sanad hadits ini terdapat 'Ashim bin 'Ubaidillah.
Imam Muhammad bin Ishaq berkata tentangnya: haditsnya banyak dan tidak bisa dijadikan hujjah. (Imam Muhammad bin Ishaq, Thabaqat Al Kubra, No. 102 . Tahqiq: Ziyad Muhammad Manshur, 1408M. Maktabah Al 'Ulum wal Hikam, Madinah Al Munawwarah)
Imam Ibnu Hibban berkata tentang 'Ashim bin 'Ubaidillah:
وكان سيئ الحفظ كثير الوهم فاحش الخطأ فترك من أجل كثرة خطئه.
Dia jelek hafalannya, banyak ragu, kesalahannya buruk, maka haditsnya ditinggalkan karena banyak kesalahnnya. (Imam Ibnu Hibban, Al Majruhin, 2 /172. Tahqiq: Mahmud Ibrahim Zayyad). Imam Yahya bin Ma'in juga mengatakan: dhaif. (Ibid. Lihat juga Tarikh Ibnu Ma'in No. 451)
Imam Malik juga mendhaifkannya. (Lihat Imam Adz Dzahabi, Al Mughni fi Adh Dhuafa No. 2987. Tahqiq: Dr. Nuruddin 'Atar)
Imam Sufyan bin 'Uyainah mengatakan: "Para syaikh khawatir dengan hadits-hadits 'Ashim bin Ubaidillah." Imam An Nasa'i mengatakan: dhaif. Imam Ibnu 'Adi berkata: "... dia bersamaan dengan kelemahannya, haditsnya boleh ditulis." (Imam Al Muqrizi, Mukhtashar Al Kamil fidh Dhuafa, No. 1381 . Tahqiq: Ayman bin 'Arif Ad Dimasyqi, 1415 H -1994M. Maktabah As Sunnah)
Maka, oleh karena di semua sanadnya terdapat rawi yang dhaif ini, maka tidak sedikit yang mendhaifkan hadits ini seperti Syaikh Syu'aib Al Arnauth. (Tahqiq Musnad Ahmad No. 195), dan Syaikh Al Albani dalam berbagai kitabnya. (Tahqiq Riyadhush Shalihin, No. 378 , 718 . Tahqiq Misykah Al Mashabih No. 2248, dll)
Syaikh Abdul Muhsin Al 'Abbad Al Badr Hafizhahullah mengatakan:
هذا فيه أن طلب الدعاء من الغير جائز، ولكن الحديث ضعيف فيه عاصم بن عبيد الله وهو ضعيف لا يحتج به في الحديث. وبعض أهل العلم يستدل على جواز طلب الدعاء من شخص آخر بالحديث الذي فيه قصة أويس القرني الذي قال فيه النبي صلى الله عليه وسلم: (إنه يأتيكم أمداد من أهل اليمن فيهم رجل يقال له: أويس -وذكر شيئاً من صفاته- فمن وجده منكم فليطلب منه أن يستغفر له)، فكان عمر رضي الله عنه وأرضاه يسأل الذين يأتون من اليمن لإمداد الجيوش التي تذهب إلى فارس لقتالهم والجهاد في سبيل الله كان يسألهم عن أويس، حتى لقي أويساً هذا الذي وصفه رسول الله صلى الله عليه وسلم، ثم قال له: (إن النبي صلى الله عليه وسلم قال كذا. فطلب منه أن يستغفر له، فكان جوابه أن قال: أنتم أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم) يعني: أنتم الذين يطلب منكم الاستغفار، من باب أولى؛ لأنكم أصحاب الرسول صلى الله عليه وسلم، فكل منهما كان يتواضع لله عز وجل، فعمر هو ممَنْ شهد له النبي صلى الله عليه وسلم بالجنة؛ لكن لأن النبي صلى الله عليه وسلم قال هذا الكلام طلب من أويس أن يستغفر له، و أويس من جانبه يقول: (أنتم أصحاب الرسول صلى الله عليه وسلم) يعني: الذين يطلب منكم الاستغفار؛ لأنكم أنتم أفضل وأعظم من غيركم. فبعض أهل العلم يستدل بهذا على جواز طلب النبي صلى الله عليه وسلم كذا، ولهذا طلب الدعاء منه من هو خير منه، بل هو خير من جميع الصحابة إلا من أبي بكر ؛ لأن أويساً تابعي وهو خير التابعين كما قال ذلك رسول الله صلى الله عليه وسلم كما في صحيح مسلم : (إن خير التابعين رجل يقال له: أويس).
Hadits ini menunjukkan kebolehan minta didoakan oleh orang lain, tetapi hadits ini dhaif, di dalamnya terdapat 'Ashim bin 'Ubaidillah srang yang dhaif dan tidak bisa dijadikan hujjah dalam hadits. Sebagian ulama membolehkan seseorang minta didoakan orang lain berdasarkan hadits kisah Uwais Al Qarniy, orang yang oleh Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dikatakan: "Sesungguhnya akan datang kepada kalian para penolong dari penduduk Yaman, seorang laki- laki yang bernama Uwais -lalu nabi menyebutkan beberapa sifatnya- barang siapa di antara kalian ada yang berjumpa dengannya maka mintalah darinya agar dia memohonkan ampun untuknya." Maka Umar Radhiallahu 'Anhu bertanya kepada orang-orang yang datang dari Yaman yang telah memberikan bantuan kepada pasukan yang berangkat ke Persia dan berjihad fi sabilillah, dan Umar menanyakan mereka tentang Uwais. Hingga akhirnya Beliau berjumpa dengan Uwais yang sifatnya telah diceritakan Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, kemudian Umar berkata kepadanya: "Sesungguhnya Nabi berkata tentang dirimu begini begitu." Lalu Umar pun memintanya agar dia memohonkan ampun untuknya. Uwais menjawab: "Engkaulah sahabat Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam." Artinya engkaulah yang seharusnya dimintakan doanya untuk memohonkan ampun baginya, yaitu dari sisi yang lebih utama, karena engkau adalah sahabat Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Keduanya sama- sama rendah hati (tawadhu) karena Allah 'Azza wa Jalla, Umar adalah seorang yang dipersaksikan oleh Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam akan masuk surga, tetapi dikarenakan Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mengatakan perkataan ini: meminta kepada Uwais agar dia memohonkan ampun baginya, dan dari sisi Uwais sendiri mengatakan: "Engkaulah sahabat Rasul Shallallahu 'Alaihi wa Sallam" yaitu orang yang dimintakan agar memohonkan ampun, karena kalian lebih utama dan agung dibanding selain kalian. Maka, dengan ini sebagian ulama mengatakan bolehnya meminta kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam seperti ini. Oleh karenanya meminta doa itu adalah dari orang yang lebih baik darinya, bahkan Umar adalah sahabat terbaik di antara semuanya kecuali dibanding Abu Bakar, sedangkan Uwais adalah seorang tabi'iy dan sebagai tabi'in terbaik, sebagaimana disabdakan Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dalam Shahih Muslim: "Sesunhgguhnya tabi'in yang terbaik adalah seorang kaki-laki yang dinamakan: Uwais." (Syarh Sunan Abi Daud, 8 /223)

Wasiat yang safar kepada yang ditinggalkan
Hal ini pun juga menjadi adab bagi orang yang ingin bepergian jauh. Bukan hanya dia yang mendapatkan wasiat, dia pun boleh memberikan wasiat bagi yang ditinggalkannya.
Dari Abu Hurairah Radhiallahu 'Anhu, katanya:
وَدَّعَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَسْتَوْدِعُكَ اللَّهَ الَّذِي لَا تَضِيعُ وَدَائِعُهُ
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam meninggalkanku, lalu beliau bersabda: "Aku titipkan engkau kepada Allah yang tidak pernah menghilangkan titipannya." (HR. Ibnu Majah No. 2825 . Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami' No. 958)
Tentunya ini hanyalah contoh wasiat, tidak ada larangan kita berwasiat dengan pesan-pesan lain yang berupa kebaikan.
Wasiat kepada keluarga jika seseorang meninggal nanti
Inilah istilah wasiat yang menjadi umumnya dipahami manusia yaitu wasiat menjelang kematian, yakni wasiat pemindahan hak kepemilikan harta. Dasar wasiat ini telah ditetapkan oleh Al Quran, As Sunnah, dan Ijma'.
Allah Ta'ala berfirman:
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu- bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. (QS. Al Baqarah (20 : 180)
Ayat lain:
مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ
... Sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.... (QS. An Nisa (4 ): 11)
Ayat lain:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا شَهَادَةُ بَيْنِكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ حِينَ الْوَصِيَّةِ اثْنَانِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ أَوْ آَخَرَانِ مِنْ غَيْرِكُم
Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang Dia akan berwasiat, Maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu... (QS. Al Maidah 95 ): 106)
Dari hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam:
عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ عَادَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ مِنْ وَجَعٍ أَشْفَيْتُ مِنْهُ عَلَى الْمَوْتِ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ بَلَغَنِي مَا تَرَى مِنْ الْوَجَعِ وَأَنَا ذُو مَالٍ وَلَا يَرِثُنِي إِلَّا ابْنَةٌ لِي وَاحِدَةٌ أَفَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثَيْ مَالِي قَالَ لَا قَالَ قُلْتُ أَفَأَتَصَدَّقُ بِشَطْرِهِ قَالَ لَا الثُّلُثُ وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ إِنَّكَ أَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ وَلَسْتَ تُنْفِقُ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلَّا أُجِرْتَ بِهَا حَتَّى اللُّقْمَةُ تَجْعَلُهَا فِي فِي امْرَأَتِكَ )رواه مسلم(
Diriwayatkan dari Sa'ad bin Abi Waqash Radhiallahu 'Anhu, Rasulullah pernah menjenguk saya waktu haji wada' karena sakit keras yang saya alami sampai hampir saja saya meninggal. Lalau saya berkata kepada beliau, Wahai Rasulullah saya sedang sakit keras sebagai mana engku sendiri melihatnya sedangkan saya mempunyai banyak harta dan tidak ada yang mewarisi saya, kecuali anak perempuan satu-satunya. Bolehkah saya menyedekahkan sebanyak 2 /3 dari harta saya? Beliau menjawab "Tidak" saya mengatakan lagi bolehkah saya menyedekahkan separoh harta saya? Beliau menjawab "Tidak" sepertiga saja yang boleh kamu sedekahkan, sedangkan sepertiga itu sudah banyak. Sesungguhnya kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya adalah lebih baik dari pada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin, menengadahkan tangan meminta-minta pda orang banyak. Apapun yang kamu nafkahkan karena ridha Allah, kamu mendapat pahala karenanya, bahkan termasuk satu suap untuk istrimu". (HR. Muslim)
Para ulama telah berbeda pendapat dalam hukum wasiat, sebagai berikut:
1. Wasiat adalah wajib bagi setiap orang yang memiliki harta baik sedikit atau banyak, inilah pendapat Az Zuhri dan Abu Mijlaz. Ini juga pendapat Ibnu Hazm, dan diriwayatkan kewajibannya dari Ibnu Umar, Thalhah, Az Zubair, Abdullah bin Abi Aufa, Thalhah bin Mathraf, Thawus, dan Sya'bi, dia berkata: ini juga pendapat Abu Sulaiman dan sahabat-sahabat kami.
2. W asiat kepada kedua orang tua dan karib kerabat yang tidak mewarisi dari si mayyit, ini juga wajib. Inilah pendapat Masruq, Iyas, Watadah, Ibnu Jarir, dan Az Zuhri.
3. Pendapat empat Imam madzhab dan aliran Zaidiyah yang menyatakan bahwa wasiat itu bukanlah kewajiban atas setiap orang yang meninggalkan harta dan bukan pula kewajiban terhadap kedua orang tua dan karib akan tetapi wasiat itu berbeda-beda hukumnya menurut keadaan (bisa wajib, sunah, makruh, haram, dan mubah). (Lihat semua dalam Fiqhus Sunnah, 3 / 588-589 . Darul Kitab Al 'Arabi)
Bersambung... Insya Allah

[1] Menurut Syafi'iyah dan Hanabilah (Hambaliyah), hamdalah adalah rukun khutbah. Ada pun Malikiyah dan Hanafiyah berpendapat bahwa hamdalah bukan rukun, baik pada khutbah Jumat dan khutbah 'Id. Hanabilah berpendapat rukun khutbah hanya empat, yakni lima di atas dikurangi doa bagi kaum mu'minin. Hanafiyah berpendapat rukun khutbah hanya satu yaitu berdzikir yang sempurna baik sedikit atau banyak. Malikiyah juga berpendapat rukun khutbah hanya satu yaitu muatan khutbah terdapat peringatan (tahdzir) dan kabar gembira (tabsyir) bagi jamaah. (Al Fiqh 'Alal Madzaahib Al Arba'ah, Ibid)

قَالَ لَا تَغْضَبْ: Beliau bersabda: jangan marah
Definisi Marah
Dalam bahasa Indonesia marah adalah sangat tidak senang (karena dihina, diperlakukan tidak sepantasnya, dan sebagainya), berang, gusar. (www. KamusBahasaIndonesia.org)
Laa taghdhab (jangan marah) diambil dari kata Al Ghadhabu, artinya lawan dari ridha. Disebutkan dalam Taajul 'Arusy:
ضِدُّ الرِّضَا وقد اخْتَلَفُوا في حَدِّه فقِيل : هو ثورانُ دمِ القَلْبِ لقَصْدِ الانْتِقَام وقيل : الأَلَم على كُلِّ شَيء يُمْكِن فيه غَضَب وعلى مَا لاَ يُمْكِن فيه أَسف قيل : هو يَجْمَعُ الشَّرّ كُلَّه لأَنه يَنْشَأُ عن الكِبْر. قال شَيْخُنا : ولذلك أَوْصَى النَّبيُّ صَلَّى الله عليه وسلم الرجلَ الَّذِي قال له أَوْصِنِي بقَوْله : لا تَغْضَب وقيل : الغَضَب معه طمع في الوُصُولِ إِلى الانْتِقَام والغَمُّ مَعَه يَأْسٌ من ذلك.
(Al Ghadhabu) adalah lawan dari ridha. Para ulama telah berbeda dalam batasannya. Disebutkan: "dia adalah perasaan meluap yang menyelimuti hati dengan maksud membalas (dendam)." Disebutkan: "rasa sakit atas segala hal yang memungkinkan adanya marah dan atas apa saja yang tidak memungkinkan untuk dimaafkan." Disebutkan pula: "dia mengumpulkan segala macam kejelekkan karena dia tumbuh dari kesombongan." Berkata syaikh kami: "Oleh karena itu Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berwasiat kepada seorang laki- laki yang berkata kepadanya: "berikanlah aku nasihat" dengan ucapan: "Jangan marah." Disebutkan: "bersama kemarahan ada keinginan yang kuat tercapainya dendam dan bersama kemarahan pula tertutupnya keputusasaan dari hal itu." (Imam Murtadha Az Zabidi, Taajul 'Arusy, 1 /824. Mawqi' Al Warraq)
Imam Al Laits berkata:
الغضوب: الناقة العبوس
Al Ghadhuub: unta betina yang merengut. (Al Azhari, Tahdzibul Lughah, 3 /48. Mawqi' Al Warraq)
Ya begitupun manusia! Biasanya jika sedang marah wajahnya merengut dan cemberut.
Macam-macam Marah
Imam Ibnu 'Arafah Rahimahullah menjelaskan:
الغَضَبُ من المخلوقين شيءٌ يُداخِل قُلُوبَهم ومنه محمود ومذموم فالمذموم ما كان في غير الحق والمحمود ما كان في جانب الدين والحق وأَما غَضَبُ اللّه فهو إِنكاره على من عصاه فيعاقبه
Marah terhadap makhluk adalah sesuatu yang membuat ragu/sanksi dalam hati mereka. Darinya ada yang terpuji dan tercela; yang tercela adalah yang didasari oleh hal yang tidak benar, dan yang terpuji adalah yang didasari oleh sebab agama dan kebenaran. Ada pun marahnya Allah; itu adalah pengingkaranNya terhadap siapa saja yang membangkangNya lalu dia memberikan hukumanNya. (Dikutip oleh Imam Ibnu Manzhur, Lisanul 'Arab, 1 /149 . Cet. 1, Dar Shadir, Beirut ; Libanon)
Marah walaupun ada yang terpuji dan menyehatkan [1] namun pada umumnya marah adalah buruk, sebab dia adalah pendorong dari keburukan lainnya. Syaikh 'Athiyah bin Muhammad Salim Rahimahullah mengatakan:
الغضب هو الدافع لكل شر، والعبد إذا غضب خرج عن طوره، ولم يعد يعقل.
Marah adalah pendorong bagi segala keburukkan, dan seorang hamba ketika marah dia akan keluar dari keadaan biasanya, dan dia tidak terhitung sedang berakal. (Syaikh 'Athiyah Salim, Syarhul Arbain An Nawawiyah, 40 /14. Syamilah)
Ya! Tidak sedikit orang yang sedang marah tidak menggunakan pertimbangan dalam berpikir, tak mampu mengendalikan diri baik ucapan dan tangan. Sehingga ketika marah kita melihat manusia mengumpat, mencaci maki, bahkan menyakiti secara fisik. Lihatlah percekcokan yang terjadi pada sebagian rumah tangga, demonstran, dan dalam perdebatan.
Namun ada pula yang menyebut bahwa marah ada tiga macam, yakni kalangan ahli medis. Syaikh 'Athiyah Salim menceritakan:
أذكر قبل حوالي عشرين سنة أني كنت قرأت مقالاً لبعض الأطباء، يقول: الغضب ثلاثة أقسام: غضب أخضر، وأسود، وأحمر.
Saya ingat sekitar sebelum dua puluh tahun lalu, saya membaca sebuah makalah para dokter, mereka mengatakan: marah ada tiga bagian; marah hijau, hitam, dan merah. (Ibid) [2]

Beliau melanjutkan bahwa marah "hijau" adalah marah yang terpuji dan diperintahkan, yaitu ketika kehormatan Allah 'Azza wa Jalla dan agamaNya dihina, atau ada pelanggaran terhadap syariat. Contohnya, dahulu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah dua kali marah kepada Usamah bin Zaid Radhiallahu 'Anhu - dijuluki kekasih Rasulullah dan anak dari kekasihnya. Pertama, ketika Beliau membunuh seorang musyrik yang kalah duel dengannya, ketika keadaan terdesak si musyrik itu bersyahadat, namun Usamah bin Zaid Radhiallahu 'Anhu tetap membunuhnya sebab menurutnya syahadat orang tersebut adalah upaya penghindaran dan kamuflase agar tidak dibunuh. Ketika peristiwa ini diketahui oleh Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, beliau pun marah kepada Usamah dan bersabda: "kenapa engkau tidak bedah saja dadanya?!"
Kedua, ketika Usamah bin Zaid Radhiallahu 'Anhu mendatangi Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam agar nabi mau memberikan keringanan hukuman atas kesalahan yang dilakukan oleh seorang wanita dari Bani Makhzum yang telah mencuri ketika hari Fathul Makkah, kerabat wanita tersebut mendatangi Usamah agar wanita ini dibebaskan dari hukuman had. Lalu Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
أَتُكَلِّمُنِي فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللَّهِ قَالَ أُسَامَةُ اسْتَغْفِرْ لِي يَا رَسُولَ اللَّهِ فَلَمَّا كَانَ الْعَشِيُّ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ خَطِيبًا فَأَثْنَى عَلَى اللَّهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ النَّاسَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا
"Apakah kau berbicara kepadaku tentang ketentuan-ketentuan Allah?" Usamah berkata: "Mohonkan ampun untukku wahai rasulullah?" Maka ketika agak senja Rasulullah berdiri berkhutbah, beliau memuji Allah dengan apa-apa yang layak bagiNya, kemudian berkata: "amma ba'du, sesungguhnya binasanya manusia sebelum kalian adalah jika yang melakukan pencurian adalah orang-orang mulia di antara mereka, mereka membiarkannya. Jika yang mencuri adalah orang lemah maka mereka menegakkan hukuman kepadanya. Demi yang jiwaku ada di tanganNya, seandainya Fathimah anak Muhammad mencuri maka aku sendiri yangh akan memotong tangannya." (HR. Bukhari No. 3475 , 6788 , Muslim No. 1688 , 1689 , Abu Daud No. 4373 , 4374 , 4396 , At Tirmidzi No. 1430 , Ibnu Majah No. 2547 , Ahmad No. 15149 , 15724 , Ath Thabarani dalam Al Awsath No. 7832, dll)
Inilah yang disebut dengan ghadhab fillah wa lillah (marah di jalan Allah dan karena Allah), yaitu marah yang terpuji (Al Ghadhab Al Mahmud).
Ada pun marah "hitam" adalah:
والغضب الأسود هو: الذي يعمي البصيرة ويطمس البصر، ويذهب عن الإنسان إدراكه، ولا يدري ماذا يفعل؟ فيضر نفسه، وهذا القسم من الغضب قد يرجع على صاحبه بالأذى، فقد يصاب بنزلة معوية، فتتضرر أعصاب المعدة فيمرض، وقد يثور عليه ضرس، وقد تثور عليه عينه، وأقل آثاره أن يصاب بصداع شديد، وقد يحصل عليه شلل في المخ.
Marah hitam adalah marah yang membuat buta mata hati dan gelap pandangan, dan membuat hilangnya akal manusia, dia tidak tahu apa yang dia lakukan? Lalu dia mencelakakan dirinya. Bagian marah yang seperti ini akan mengembalikan kepada pelakunya rasa sakit, yang akan menimpa ususnya, berdampak buruk kepada urat syaraf yang ada pada perutnya yang membuatnya sakit, pengaruhnya juga pada gemertak giginya, pengaruh pada matanya, minimal pengaruhnya adalah dia akan ditimpa pusing yang sangat, dan dari situ membuatnya pada kelumpuhan pada otak. (Syaikh 'Athiyah Salim, Syarhul Arbain An Nawawiyah, 40 /14)
Apa yang dipaparkan tentang marah "hitam" ini adalah dampak buruk marah bagi kesehatan manusia. [3] Marah inilah yang disebut dengan marah yang tercela (Al Ghadhab Al Madzmum). Yaitu yang didasarkan emosi dan hawa nafsu semata, bukan karena faktor kecemburuan terhadap agama. Misalnya: marah didasari emosi pribadi dan kebanggaan kelompok (gank).
Sedangkan kemarahan "merah" adalah:
الغضب على الأشياء التوافه الذي يثير الإنسان لكنه في حدود التمكن.
Marah terhadap segala hal yang membawa dampak pada manusia tetapi masih dalam batas-batas wajar. (Ibid)
Barangkali inilah marah yang "natural" yang bisa saja dialami baik orang kafir dan mu'min, shalih atau ahli maksiat.
Membalas keburukan dengan keburukan?
Ketika sedang marah, biasanya kita akan terbawa keinginan untuk membalas kejahatan orang yang telah menyakiti kita, tak peduli yang menyakiti itu muslim atau bukan. Pada titik ini, secara natural memang begitulah manusia (juga hewan!). Tetapi, Islam memberikan panduan agar manusia mampu mengendalikan amarahnya itu, untuk tetap memberikan pemaafan dan jalan damai, walau membalasnya -demi kehormatan dan harga diri- adalah boleh-boleh saja, tetapi berdamai dan memaafkan adalah lebih baik, tentunya seorang mu'min akan menempuh yang lebih baik.
Allah 'Azza wa Jalla berfirman:
وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ
Dan Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik, Maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim. (QS. Asy Syura (42 ): 40)
Dalam ayat lain Allah 'Azza wa Jalla menerangkan hal serupa:
فَمَنِ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى عَلَيْكُمْ
Oleh sebab itu Barangsiapa yang menyerang kamu, Maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. (QS. Al Baqarah 92 ): 194)

Inilah Islam, agama yang menghargai wibawa dan kehormatan manusia, namun tetap menganjurkan untuk memaafkan dan berbuat baik. Islam tidak mengatakan: "jika ditampar pipi kiri berilah pipi kanan." Sebab yang demikian itu menunjukkan membuat senang pelaku kezaliman dan membiarkan kezaliman terus ada, sekaligus menunjukkan kelemahan jiwa yang ditampar, sehingga yang terjadi bukanlah perdamaian tetapi penguasaan seseorang atas orang lain. Sekalipun nampaknya damai- damai saja, itu adalah damai yang semu. Lahirnya terlihat damai, dalamnya tersimpan dendam!
Dalam Islam, jika anda ditampar, maka tampar lagi dia secara seimbang agar dia tahu bahwa anda punya harga diri dan kehormatan sebagai hamba Allah 'Azza wa Jalla. Jika ini anda lakukan, maka pelakunya akan tahu diri dan tidak lagi semena- mena mengganggu anda, sebab bisa jadi ketika dia menampar, dia menganggap anda adalah orang yang pengecut dan bisa dikuasai. Dengan demikian lahirlah sikap saling menghargai dan menghormati yang didasari kesadaran sesama manusia yang memiliki harga dan nilai yang sama. Ini semua jika membalas tidak membawa mudharat yang lebih besar, jika membalas justru membawa permusuhan lagi dan sama-sama keras kepala, maka jangan membalas dan memilih bersabar adalah lebih utama. Di atas itu semua adalah memaafkan dan tetap berdamai adalah lebih baik, apalagi jika keduanya sama-sama muslim.
Oleh karena itulah Allah 'Azza wa Jalla berfirman:
ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ السَّيِّئَةَ نَحْنُ أَعْلَمُ بِمَا يَصِفُونَ
" Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik. Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan. (QS. Al Mu'minun (23 ): 96)
Wallahu A'lam
Solusi Islam Terhadap Marah ( 'Ilajul Ghadhab )
Islam sebagai agama yang sesuai dengan fitrah tidak pernah luput dalam memberikan jalan keluar bagi permasalahan manusia walaupun yang sederhana. Termasuk bagaimana mengendalikan diri ketika marah. Secara normatif sudah kami paparkan pandangan Islam yang amat pertengahan dan proporsional terhadap marah. Bolehlah dikatakan, apa yang kami paparkan di atas adalah "landasan ideologis" tentang meletakkan amarah dalam diri manusia.
Selanjutnya adalah "landasan operasional" tentang mengendalikan marah, walau sebenarnya pada hadits arbain no. 16 ini sudah merupakan salah satu solusi nabawi; Laa taghdhab (jangan marah). Berikut solusi lain dari apa yang Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam ajarkan (Syaikh 'Athiyah Salim menyebut solusi ini bersifat tadaarruj -bertahap):
Dzikrullah (Mengingat Allah Ta'ala)
Ketika emosi kita sedang meluap memang agak sulit berdzikir, oleh karenanya harus dipaksakan dan bermujahadah untuk melakukannya. Sebab inilah cara awal yang mujarab untuk mengembalikan kondisi normal bagi hati kaum beriman.
Allah Ta'ala berfirman:
الَّذِينَ آَمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS. Ar Ra'du (13 ): 28)
Dzikir yang Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam ajarkan ketika sedang marah adalah membaca isti'adzah (dzikir perlindungan), karena marah juga merupakan godaan syetan kepada manusia, dan kita berlindung kepada Allah Ta'ala dari semua bentuk gangguannya.
Sulaiman bin Shurad Radhiallahu 'Anhu berkata:
اسْتَبَّ رَجُلَانِ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ عِنْدَهُ جُلُوسٌ وَأَحَدُهُمَا يَسُبُّ صَاحِبَهُ مُغْضَبًا قَدْ احْمَرَّ وَجْهُهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي لَأَعْلَمُ كَلِمَةً لَوْ قَالَهَا لَذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِدُ لَوْ قَالَ أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ فَقَالُوا لِلرَّجُلِ أَلَا تَسْمَعُ مَا يَقُولُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنِّي لَسْتُ بِمَجْنُونٍ
Dua orang laki-laki saling memaki di hadapan Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, sedangkan kami sedang duduk-duduk di sisinya. Salah satu orang tersebut memaki sahabatnya dengan marahnya, dan wajahnya memerah. Lalu Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Saya akan ajarkan sebuah perkataan yang jika diucapkan akan menghilangkan apa yang sedang terjadi (amarah), seandainya dia mengucapkan: a'udzubillahi minasy syaithanirrajim."
Mereka berkata kepada laki-laki itu: "Apakah kamu dengar apa yang dikatakan Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam?" Laki-laki itu menjawab: "Saya bukan orang gila!" (HR. Bukhari No. 6115 , dan Muslim, dalam lafaz Muslim No. ( 109) (2610 ): hal taraa biy min majnuun ? (Apakah kau melihatku sebagai orang gila?), dalam lafaz lain dalam riwayat Muslim No. ( 110) (2610 ): A majnuunan taraaniy? (apakah kau melihatku sebagai orang gila?)
Berwudhu
Ini merupakan tahapan selanjutnya, berdasarkan hadits nabi:
إِنَّ الْغَضَبَ مِنَ الشَّيْطَانِ ، وَإِنَّ الشَّيْطَانَ خُلِقَ مِنَ النَّارِ ، وَالْمَاءُ يُطْفِئُ النَّارَ ، فَإِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَوَضَّأْ
Sesungguhnya marah itu dari syetan, dan syetan tercipta dari api, dan air mampu memadamkan api, maka jika salah seoranhg kalian marah hendaknya dia berwudhu. (HR. Bukhari dalam At Tarikh Al Kabir, 7 /8 , Ahmad No. 17985 , Abu Daud No. 4784 , Ibni Abi 'Ashim dalam Al Aahad wal Matsani No. 1267 , 1431 , Al Baihaqi dalam Syu'abul Iman No. 8291)
Namun para ulama mendhaifkan hadits ini, seperti Syaikh Syu'aib Al Arnauth (Tahqiq Musnad Ahmad No. 17985) , juga Syaikh Al Albani (Dhaiful Jami' No. 1510 , As Silsilah Adh Dhaifah No. 582, dan beberapa kitabnya yang lain)
Walau pun hadits ini dhaif, tidaklah menganulir bahwa marah itu berasal dari syetan. Sebab hal itu telah diisyaratkan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Syaikhan (Bukhari-Muslim) dari Sulaiman bin Shurad (lihat solusi no 1). Yakni ketika nabi mengajarkan: a'udzubillahi minasy syaithaanirrajim, bagi orang yang marah menunjukkan bahwa marah adalah berasal dari syetan. Oleh karena itu, Syaikh Abdul Muhsin Al 'Abbad Al Badr Hafizhahullah menyebutkan bahwa secara makna hadits ini adalah shahih. (Syarh Sunan Abi Daud, 27 /395. Syamilah)
Syaikh 'Athiyah Salim Rahimahullah menyebutkan:
والحكمة أنه إذا توضأ حبس الغضب في أطرافه، فلم يجد له منفذاً فيهدأ، فإن لم يذهب فليغتسل.
Hikmahnya adalah jika seseorang berwudhu maka itu akan mencegah kemarahan yang ada pada anggota badannya, dia tidak ada jalan untuk marah lalu menjadi reda, jika belum hilang juga, maka hendaknya dia mandi. (Syarhul Arbain An Nawiyah, 40 /16)
"Mandi" merupakan ijtihad dari Syaikh 'Athiyah Salim. Bisa jadi karena fungsi air untuk mematikan api, dan mandi biasanya menggunakan air lebih banyak dibanding wudhu. Sehingga kemungkinan mematikan kobaran api juga lebih besar. Wallahu A'lam
Syaikh Abdul Muhsin Al 'Abbad Al Badr menjelaskan pula:
معناه: أن هذا من الوسائل التي يكون بها تخفيف الغضب؛ لأن الغضب من الشيطان، والشيطان خلق من نار، والنار يطفئها الماء، فكون الإنسان يتوضأ فإنه يخفف من وطأة الغضب عليه.
Maknanya: ini adalah di antara sarana yang dengannya bisa meringankan marah, karena marah itu berasal dari syetan, dan syetan tercipta dari api, dan api dipadamkannya dengan air, maka kondisi manusia yang berwudhu akan meringankan tekanan amarah yang ada padanya. (Syarh Sunan Abi Daud, 27 /395. Syamilah)
Wallahu A'lam
Jika marah sambil berdiri maka duduklah, jika masih marah, berbaringlah
Ini adalah tahapan selanjutnya atau cara lain untuk meredam amarah. Hal ini diajarkan langsung oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
Dari Abu Dzar Al Ghifari Radhiallahu 'Anhu, katanya:
قَالَ لَنَا إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ وَإِلَّا فَلْيَضْطَجِعْ
Berkata (Rasulullah) kepada kami: jika salah seorang kalian marah dan dia sedang berdiri maka duduklah, itu jika mampu menghilangkan marahnya, jika tidak maka hendaknya berbaring. (HR. Abu Daud No. 4782 , Ahmad No. 21348 , Ibnu Hibban No. 5688)
Berkata Syaikh Syu'aib Al Arnauth: "Para rijal(perawi)-nya adalah terpercaya dan termasuk perawi shahih, tetapi ada perselisihan tentang Daud bin Abi Hindi yang terdapat pada sanadnya." (Tahqiq Musnad Ahmad No. 21348).
Yang benar adalah Daud bin Abi Hindi seorang tsiqah, dan Imam Bukhari telah meriwayatkan darinya secara mu'allaq, juga Imam Muslim dan para penyusun kitab Sunan (Ash Habus Sunan). (Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr, Syarh Sunann Abi Daud, 27 /393)
Syaikh Al Albani menshahihkannya. (Shahihul Jami' No. 694)
Ini merupakan solusi yang mengagumkan dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Anda lihat betapa tidak lazimnya manusia marah-marah sambil posisi duduk apalagi berbaring. Oleh karenanya, dua posisi ini adalah posisi yang paling mungkin kita ambil, untuk mengurangi gerakan tangan dan juga kegusaran hati, serta semakin memendekkan jangkauan tangan dan kaki untuk berbuat kasar. Berbeda dengan berdiri, yang merupakan posisi termudah untuk mengajar, memukul, dan sebagainya. Duduk adalah posisi yang sulit untuk itu, apalagi berbaring.

Pengaruh "marah" terhadap sebagian Hukum Fiqih
Marah ternyata bukanlah hal sederhana. Pengaruhnya bagi kehidupan pribadi, keluarga, dan masyarakat begitu terlihat. Bahkan dalam menentukan hukum, para ulama pun menjadikan keadaan marah sebagai konsideran (faktor) penting. Contohnya adalah dalam masalah talak.
Jumhur ulama mengatakan bahwa talak ketika marah adalah tidak sah, hal ini sama dengan talak ketika mabuk, dan tidak sadar. Semua keadaan ini memiliki kesamaan yakni hilangnya kesadaran dan akal sehat. Inilah pandangan jumhur (mayoritas) ulama seperti Utsman bin Affan, Ibnu Abbas, Ahmad, Bukhari, Abusy Sya' tsa', Atha', Thawus, Ikrimah, Al Qasim bin Muhammad, Umar bin Abdul Aziz, Rabi'ah, Laits bin Sa'ad, Al Muzani, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, dan lain-lain. Inilah pendapat yang kuat, bahwa thalak baru jatuh ketika sadar, akal normal, dan sengaja.
Ada juga ulama yang berkata talak orang mabuk dan marah adalah sah seperti Said bin Al Musayyib, Hasan Al Bashri, Az Zuhri, Asy Sya'bi, Sufyan Ats Tsauri, Malik, Abu Hanifah, dan Asy Syafi'i.
Ada pun Imam Ibnu Taimiyah memberikan perincian bahwa jika marahnya sampai tak terkendali dan gelap mata maka talak tidak sah, tapi jika marahnya masih dalam keadaan sadar dan dia mengerti apa yang dikatakannya maka talaknya sah.
Hal yang seperti ini juga dibahas pada masalah Al 'Itqu (pembebasan budak), jual beli, dan semisalnya. Silahkan merujuk ke ketiba-kitab fiqih yang memperluas masalah ini.
Sekian.......... Wallahu A'lam wa ilaihil musta'an

[1] Pada tingkatan wajar dan alasan yang dibenarkan (syar'i), marah bagi pelakunya justru bermanfaat. Sebab memendam amarah secera kelewat batas justru akan membuat beban dan sempit hati. Berikut adalah artikel tentang manfaat marah bagi mental.
VIVAnews - Melepaskan amarah ternyata lebih baik untuk kesehatan mental dibanding hanya memendam emosi dalam hati saja. Sebab, ekspresi kemarahan mampu meningkatkan aliran darah ke bagian otak yang berkaitan dengan perasaan bahagia.
Sebuah penelitian telah menguji 30 orang untuk menemukan apa yang terjadi selama proses luapan emosi terjadi. Mereka diminta menulis perasaan masing-masing yang menimbulkan kemarahan. Kalimat amarah yang ditulis responden makin lama makin intens. Kemarahan dimulai dari penyesalan karena tidak ada perubahan yang lebih baik hingga diri yang dikuasai kebencian.
Kemudian, laboratorium menguji denyut jantung, tekanan darah dan tingkat dua hormon stres yakni testosteron dan kortisol. Di awal dan akhir percobaan, otak peserta diperiksa.
Temuan yang dipublikasikan dalam jurnal 'Hormones and Behaviour', menunjukkan otak kiri berpengaruh saat orang marah. Dr Neus Herrero, dari Universitas Valencia Spanyol mengatakan bahwa wilayah frontal otak kiri terlibat dalam mengalami emosi positif, sedangkan kanan lebih berkaitan dengan emosi negatif.
"Amarah mendorong perubahan besar dalam tubuh manusia yang dikendalikan jantung dan hormon," katanya seperti dikutip dari laman Telegraph.
"Saat kita marah, akan terjadi perubahan dalam aktivitas otak terutama di lobus frontal dan temporal. Hormon stres kortisol juga menurun," ujarnya menambahkan.
Akan tetapi, studi tersebut juga menemukan bahwa rasa marah memiliki efek negatif yang bisa menimbulkan kerusakan serius pada tubuh. Degup jantung dan tekanan darah meningkat saat marah. Walaupun homon stres kortisol menurun selama marah, namun hormon testosteron justru meningkat. (selesai kutipan dari VIVAnews.com)
[2] Pembagian marah seperti ini bukanlah bid'ah, melainkan upaya perincian dan penjelasan semata. Hal ini sama halnya ketika ulama menyebutkan pembagian macam-macam syirik, macam- macam cinta, macam-cam tauhid, macam-macam nafsu, dan semisalnya, selama pembagian- pembagian ini memiliki dasar baik langsung atau tidak langsung dalam sumber agama Islam. Apalagi pembagian marah di sini hanyalah tinjauan medis semata. (pen)
[3] Sudah banyak pemaparan tentang dampak marah bagi kesehatan tubuh manusia. Sebagian pakar kesehatan membicarakan dengan sangat rinci, dan sebagian lain memaparkan dengan sederhana. Ada baiknya kami paparkan artikel dari republika.co.id , yang ditulis oleh Sdr. Rizqi fauzi berikut ini yang berjudul Amarah :
''Bukanlah orang yang kuat itu adalah seorang pegulat, namun yang disebut orang kuat adalah mereka yang bisa mengendalikan amarahnya.'' (HR Bukhari dan Muslim).
Empat belas abad yang lalu Rasulullah SAW secara tegas telah menyebutkan bahwa seorang pemarah merupakan seorang yang lemah. Lemah mengadung arti baik secara fisik ataupun mental. Menurut ahli kesehatan jiwa, Dr Guy A Pettitt, dalam artikelnya Forgiveness and Health, secara fisik marah yang berkepanjangan berdampak pada stres dan urat-urat menjadi tegang. Akibatnya, akan timbul rasa sakit di bagian leher, punggung, dan lengan.
Begitupun sirkulasi darah ke jantung dan anggota tubuh lainnya menjadi terhambat, sehingga kandungan oksigen dan nutrisi dalam sel berkurang, pecernaan dan pernapasan juga akan terganggu. Sistem kekebalan tubuh pun melemah, sehingga tubuh menjadi sangat rawan terserang penyakit.
Secara mental, marah berdampak sangat fatal terhadap kejiwaan seseorang, karena dengan marah, terkadang seseorang tidak bisa mengontrol diri. Sehingga, sangat memungkinkan untuk berbuat sesuatu di luar kendalinya, seperti mencaci, memukul, bahkan mungkin membunuh.
Allah SWT mengajarkan kepada hambanya untuk bersikap gampang memaafkan kesalahan seseorang, sebagaimana Allah SWT sangat gampang mengampuni dosa-dosa hambanya. Malah, Allah SWT mencela orang yang suka marah dengan menyebutnya sebagai orang bodoh. Sebagaimana firman-Nya, ''Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.'' (QS Al-A'raf [7 ]:199).
Dr Frederic Luskin dalam bukunya Forgive for Good sebagaimana yang dikutip Harun Yahya, menjelaskan sifat pemaaf sebagai resep yang telah terbukti bagi kesehatan dan kebahagiaan. Buku tersebut memaparkan bagaimana sifat pemaaf memicu terciptanya keadaan baik dalam pikiran seperti harapan, kesabaran, dan percaya diri, sehingga akan mengurangi kemarahan, penderitaan, lemah semangat, dan stres.
Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW, ''Tidaklah kelemahlembutan itu berada pada sesuatu kecuali akan membuatnya indah, dan tidaklah kelembutan itu dicabut kecuali akan menjadikannya jelek.'' (HR Muslim). Maka, kalau ingin hidup sehat, jadilah seorang pemaaf. Wallahu a'lam bi ash-Shawab. (Selesai kutipan dari Risqi Fauzi)
Tentunya marah yang membawa dampak buruk bagi kesehatan adalah marah tak terkendali yang meluap-luap bukan marah yang masih dalam tingkatan wajar. Maka benarlah apa yang Diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam:
"Sebaik-baiknya perbuatan ('amal) adalah yang pertengahan." (HR. Al Baihaqi, Syu'abul Iman, 8 /411 /3730 . As Sam'ani meriwayatkan dalam Dzail Tarikh Baghdad secara marfu' dari Ali, tetapi dalam sanadnya terdapat periwayat yang majhul. Ad Dailami juga meriwayatkan tanpa sanad dari Ibnu Abbas secara marfu'. Lihat Imam 'Ajluni, Kasyful Khafa', 1 /391 dan Imam As Sakhawi, Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 112 . Imam As Suyuthi menyandarkan ucapan ini adalah ucapan Mutharrif bin Abdillah dan Abu Qilabah, yakni sebaik-baiknya urusan (Al Umur) adalah yang pertengahan. Lihat Ad Durul Mantsur, 6 /333). Wallahu A'lam
Tags: syarah hadits arbain



<<BACK