XtGem Forum catalog


22: "Jalan Menuju Surga"
عن أبي عبد الله جابر بن عبد الله الأنصاري رضي الله عنهما : أن رجلا سأل رسول الله صلى الله عليه وآله
وسلم فقال أَرَأَيْتَ إِذَا صَلَّيْتُ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَاتِ وَصُمْتُ رَمَضَانَ وَأَحْلَلْتُ الْحَلَالَ وَحَرَّمْتُ الْحَرَامَ وَلَمْ أَزِدْ عَلَى ذَلِكَ شَيْئًا أَأَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَالَ نَعَمْ رواه مسلم. ومعنى حرمت الحرام : اجتنبته. ومعنى أحللت الحلال فعلته معتقدا حله
Dari Abu Abdullah Jabir bin Abdullah Al Anshari Radhiallahu 'Anhuma, bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa 'ala Aalihi wa Sallam, dia berkata: "Apa pendapatmu jika saya melaksanakan shalat wajib, berpuasa Ramadhan, saya menghalalkan apa yang halal, dan mengharamkan yang haram, dan saya tidak menambahkan hal itu sedikit pun, apakah saya akan masuk surga?" Rasulullah menjawab: "Ya." (Diriwayatkan Imam Muslim, makna mengharamkan yang haram: menjauhkannya, makna menghalalkan yang halal: menjalankannya dengan keyakinan kehalalan perbuatan itu)

Takhrij Hadits:
-Imam Muslim dalam Shahihnya No. 15
-Imam Ahmad dalam Musnadnya No. 14789
-Imam Abu Nu'aim dalam Ma'rifatush Shahabah No. 5770 , juga dalam Al Musnad Al Mustakhraj 'Ala Shahih Al Imam Muslim No. 96
-Imam Ibnul Atsir dalam Jami' Al Ushul fil Ahadits Ar Rasul No. 7287
Hadits tersebut masih ada kalimat lanjutan, yakni:
قَالَ وَاللَّهِ لَا أَزِيدُ عَلَى ذَلِكَ شَيْئًا
Laki-laki itu berkata: "Demi Allah, saya tidak akan menambah- nambahkan hal itu sedikit pun."

Makna Hadits Secara Global:
Secara umum hadits ini memuat beberapa pelajaran:
Hadits ini memberikan rincian tentang perbuatan apa saja yang bisa mengantarkan seseorang masuk ke surga, setelah dia bersyahadat, yang merupakan perinci dari beberapa hadits lain yang masih umum.
Seperti hadits:
كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى
"Semua umatku akan masuk surga kecuali yang menolak." Mereka bertanya: "Wahai Rasulullah, siapakah yang menolak?" Beliau menjawab: "Siapa yang taat kepadaku maka dia masuk ke surga, dan siapa yang membangkang kepadaku dialah yang menolak." (HR. Bukhari No. 7280)
Hadits lain:
مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
"Siapa yang wafat dan dia mengetahui bahwa Tidak ada Ilah kecuali Allah maka ia masuk surga." (HR Muslim No. 26 , Ahmad No. 464 , Al Bazzar No. 415 , Ibnu Hibban No. 201)
Hadits lain:
من مَاتَ يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا دَخَلَ النَّارَ وَقُلْتُ أَنَا وَمَنْ مَاتَ لَا يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ
'Barang siapa yang mati dalam keadaan syirik kepada Allah, maka dia masuk ke neraka, dan barang siapa mati dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu, ia tetap masuk surga." (HR. Muslim No. ( 92) (150 ), Ahmad No. 4231 , Ibnu Mandah No. 67 , 68)
Kita lihat hadits-hadits ini masih bermakna umum, bahwa orang yang bertauhid dengan cara yang benar akan masuk ke surga. Tetapi, bertauhid secara benar itu seperti apa? Maka dijelaskan oleh hadits yang sedang kita bahas ini, yakni di antaranya dengan menjalankan kewajiban shalat, puasa Ramadhan, menghalalkan yang halal, dan mengharamkan yang haram. Amalan dalam hadits ini hanyalah contoh saja, masih banyak amal lain yang dapat mengantarkan ke surga yang tidak disebutkan dalam hadits ini.
Inilah yang disebutkan oleh seorang tokoh besar Salaf, Imam Wahb bin Munabbih Radhiallahu 'Anhu:
وَقِيلَ لِوَهْبِ بْنِ مُنَبِّهٍ أَلَيْسَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مِفْتَاحُ الْجَنَّةِ قَالَ بَلَى وَلَكِنْ لَيْسَ مِفْتَاحٌ إِلَّا لَهُ أَسْنَانٌ فَإِنْ جِئْتَ بِمِفْتَاحٍ لَهُ أَسْنَانٌ فُتِحَ لَكَ وَإِلَّا لَمْ يُفْتَحْ لَكَ
Dikatakan kepada Wahb bin Munabbih: "Bukankah Laa Ilaha Illallah adalah miftahul jannah (kunci surga)?" Beliau menjawab: "Tentu, tetapi bukanlah kunci jika tanpa gerigi. Jika kamu membawa kunci yang bergerigi maka akan terbuka pintunya untukmu, jika tidak ada geriginya, maka tidak akan terbuka untukmu." (Shahih Bukhari, dalam Kitab Al Janaiz Bab Maa Ja'a fil Janaiz wa Man kaana Akhiru Kalamihi Laa Ilaha Illallah)
Hadits ini menjadi penguat dan penegas atas konsep Yusrul Islam (kemudahan Islam). Islam memberikan kabar gembira kepada umatnya bahwa jalan menuju surga itu sebenarnya mudah yakni menjalankan kewajiban pokok dalam agama, walaupun tidak ditambah- tambah dengan yang sunah. Itu sudah cukup mengantarnya ke surga sesuai dengan janji nabiNya, Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
Dalam riwayat lain di sebutkan, dari Thalhah bin 'Ubaidillah Radhiallahu 'Anhu, katanya:
أَنَّ أَعْرَابِيًّا جَاءَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَائِرَ الرَّأْسِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَخْبِرْنِي مَاذَا فَرَضَ اللَّهُ عَلَيَّ مِنْ الصَّلَاةِ فَقَالَ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ إِلَّا أَنْ تَطَّوَّعَ شَيْئًا فَقَالَ أَخْبِرْنِي مَا فَرَضَ اللَّهُ عَلَيَّ مِنْ الصِّيَامِ فَقَالَ شَهْرَ رَمَضَانَ إِلَّا أَنْ تَطَّوَّعَ شَيْئًا فَقَالَ أَخْبِرْنِي بِمَا فَرَضَ اللَّهُ عَلَيَّ مِنْ الزَّكَاةِ فَقَالَ فَأَخْبَرَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَرَائِعَ الْإِسْلَامِ قَالَ وَالَّذِي أَكْرَمَكَ لَا أَتَطَوَّعُ شَيْئًا وَلَا أَنْقُصُ مِمَّا فَرَضَ اللَّهُ عَلَيَّ شَيْئًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْلَحَ إِنْ صَدَقَ أَوْ دَخَلَ الْجَنَّةَ إِنْ صَدَقَ
Bahwasanya datang seorang A'rabi (Badui) berambut kusut kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, dia berkata: "Wahai Rasulullah, kabarkan kepadaku tentang shalat apa yang Allah wajibkan kepadaku." Beliau bersabda: "Shalat yang lima waktu, kecuali yang sunahnya." Lalu laki-laki itu berkata: "Beritahukan aku puasa apa yang Allah wajibkan kepadaku." Beliau bersabda: "Puasa pada bulan Ramadhan, kecuali yang sunahnya." Dia berkata lagi: "Kabarkan aku tentang zakat apa yang Allah wajibkan kepadaku." Lalu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mengabarkan kepadanya tentang aturan-aturan Islam. Berkata laki-laki itu: "Demi yang memulaikanmu, saya tidak akan melakukan yang sunahnya dan tidak pula menguranginya sedikit pun dari apa yang Allah wajibkan kepadaku." Maka, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Dia akan beruntung jika dia jujur, atau dia akan masuk surga jika dia jujur." (HR. Bukhari No. 1891)
Shalat adalah amal yang tidak melelahkan, tidak lama, dan caranya sudah ada tinggal ikuti pedoman saja. Tidak bisa diri, bisa duduk, kalau tidak mampu juga, bisa berbaring dan seterusnya. Puasa adalah amal yang tidak berongkos, hakikatnya hanya pemindahan jam makan saja, dan justru menyehatkan kita. Kalau sedang ada uzur, boleh kita berpuasa di hari lain. Zakat hanya diwajibkan pada jenis harta tertentu, itu pun jika sudah mencapai nishab (grade minimal), jika belum mencapai nishab maka tidak wajib. Haji juga diwajibkan bagi yang mampu finansial dan fisik. Jika dalam keadaan tidak mampu secara finansial dan fisik maka dia tidak wajib. Ternyata betapa mudah jalan menuju surga..........
Ada pun jalan menuju siksa dan azabNya, begitu mahal dan sulit, juga dengan dampak dunia yang mengerikan. Misalnya, mencuri tentu membutuhkan keberanian dengan segudang resiko yang mematikan seperti potong tangan (jika hukum Islam diberlakukan), atau penjara, bahkan amuk massa. Berzina membutuhkan modal untuk membayar pelacur, kalau pun tidak bayar, serentetan resiko tetap menanti seperti HIV/AIDS, hamil di luar nikah, penyakit kelamin, juga tentunya amuk massa jika tertangkap basah. Mabuk juga membutuhkan biaya untuk membeli minuman keras, kalau pun gratis, mabuk tetaplah merusak otak dan tubuh bagi pelakunya. Membunuh manusia secara tidak hak, juga demikian mengerikan dampaknya yakni hukuman mati menantinya. Ternyata betapa berat, mahal, dan memalukan sekali jalan menuju neraka........... tetapi, kenapa lebih banyak peminatnya?
Islam itu mudah, lapang, dan manusiawi, tapi umatnya yang mempersulit dirinya sendiri.
Hadits ini juga mendidik kita tentang pentingnya berdisiplin kepada syariat (indhibath syar'i). Walaupun disiplin dengan perkara yang wajib dan disiplin menjauhi yang haram, itu tetap sebuah kemuliaan yang telah dihargai dan dijanjikan dengan surga. Apalagi jika ditambah disiplin pula terhadap perkara yang sunah, dan menjauh dari yang makruh dan syubhat.
Disiplin kepada syariat, pada zaman penuh fitnah seperti saat ini bukanlah hal yang ringan. Banyak rintangan, ujian, dan begitu keras perlawanannya. Baik yang dilancarkan oleh musuh- musuh Islam dan kaki tangan mereka, juga kaum juhala (bodoh) dalam tubuh umat Islam sendiri. Bersiaplah disebut sebagai ekstrimis, fundamentalis, garis keras, sok alim, bahkan teroris, hanya karena Anda mencoba konsisten dan komitmen dengan syariatNya. Anda terasing bukan karena lari dari mereka, tapi merekalah yang lari dari nilai Islam yang Anda coba untuk berkomitmen dengannya.
Dari Abu Hurairah Radhiallahu 'Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam:
بَدَأَ الْإِسْلَامُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ
Awalnya Islam dianggap terasing, dan akan kembali seperti awalnya dianggap asing, maka beruntunglah orang-orang terasing itu. (HR. Muslim No. 145)
Hadits ini juga menjadi bukti dan penguat bagi pihak yang berpandangan bahwa masuknya ke surga bagi seseorang adalah karena amal shalihnya di dunia.
Hal ini juga diperkuat oleh firmanNya:
الَّذِينَ تَتَوَفَّاهُمُ الْمَلائِكَةُ طَيِّبِينَ يَقُولُونَ سَلامٌ عَلَيْكُمُ ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
(yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam Keadaan baik oleh Para Malaikat dengan mengatakan (kepada mereka): "Salaamun'alaikum, masuklah kamu ke dalam syurga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan" . (QS. An Nahl (16 ): 32)
Juga ayat lainnya:
وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Dan diserukan kepada mereka: " ltulah surga yang diwariskan kepadamu, disebabkan apa yang dahulu kamu kerjakan. " (QS. Al A'raf (7 ): 43)
Dua ayat ini, dan juga hadits yang sedang kita bahas menunjukkan bahwa manusia dimasukkan ke surga amal shalihnya.
Namun, ada pihak yang mengatakan bahwa manusia dimasukkan ke dalam surga adalah karena rahmat Allah Ta'ala, bukan karena amalnya. Mereka berdalil dengan beberapa hadits berikut:
Dari Abu Hurairah Radhiallahu 'Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
لَنْ يُنَجِّيَ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ قَالُوا وَلَا أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ وَلَا أَنَا إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِي اللَّهُ بِرَحْمَةٍ
"Tidak seorang pun di antara kalian yang akan diselamatkan oleh amal perbuatannya." Mereka bertanya: "Engkau pun tidak, wahai Rasulullah?" Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menjawab: "Aku juga tidak, hanya saja Allah melimpahkan rahmatNya kepadaku." (HR. Bukhari No. 6463 dan Muslim No. 2816)
Dari Jabir Radhiallahu 'Anhu, aku mendengar bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
لَا يُدْخِلُ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ وَلَا يُجِيرُهُ مِنْ النَّارِ وَلَا أَنَا إِلَّا بِرَحْمَةٍ مِنْ اللَّهِ
Amal shalih kamu tidaklah memasukkan kamu ke dalam surga dan tidak pula menjauhkan dari api neraka, tidak pula aku, kecuali dengan rahmat dari Allah. (HR. Muslim No. 2817)
Demikian alasan masing-masing pihak. Selintas dalil-dalil mereka nampak bertentangan (ta'arudh) secara lahiriyah satu sama lain. Al Quran menyebut bahwa manusia masuk surga karena amal shalihnya, tetapi Al Hadits menyebut manusia masuk surga karena ramat Allah Ta'ala semata. Bukan karena amal shalihnya di dunia.

Bagaimana mengkompromikan dalil-dalil yang nampaknya bertentangan ini?
Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:
وَفِي ظَاهِر هَذِهِ الْأَحَادِيث : دَلَالَة لِأَهْلِ الْحَقّ أَنَّهُ لَا يَسْتَحِقّ أَحَد الثَّوَاب وَالْجَنَّة بِطَاعَتِهِ ، وَأَمَّا قَوْله تَعَالَى : { اُدْخُلُوا الْجَنَّة بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ } { وَتِلْك الْجَنَّة الَّتِي أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ } وَنَحْوهمَا مِنْ الْآيَات الدَّالَّة عَلَى أَنَّ الْأَعْمَال يُدْخَل بِهَا الْجَنَّة ، فَلَا يُعَارِض هَذِهِ الْأَحَادِيث ، بَلْ مَعْنَى الْآيَات : أَنَّ دُخُول الْجَنَّة بِسَبَبِ الْأَعْمَال ، ثُمَّ التَّوْفِيق لِلْأَعْمَالِ وَالْهِدَايَة لِلْإِخْلَاصِ فِيهَا ، وَقَبُولهَا بِرَحْمَةِ اللَّه تَعَالَى وَفَضْله ، فَيَصِحّ أَنَّهُ لَمْ يَدْخُل بِمُجَرَّدِ الْعَمَل. وَهُوَ مُرَاد الْأَحَادِيث ، وَيَصِحّ أَنَّهُ دَخَلَ بِالْأَعْمَالِ أَيْ بِسَبَبِهَا ، وَهِيَ مِنْ الرَّحْمَة. وَاَللَّه أَعْلَم.
Menurut zahir hadits-hadits ini ada petunjuk bagi ahlul haq, bahwasanya seseorang tidak berhak mendapat pahala dan surga karena amal ibadahnya. Adapun firman Allah Ta'ala: (Masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan) dan (Itulah surga yang diwariskan kepadamu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan) dan yang semisal keduanya dari beberapa ayat Al Quran yang menunjukkan bahwa amal ibadah itu dapat memasukkan ke dalam surga, maka semua itu tidak bertentangan dengan beberapa hadis ini. Akan tetapi, ayat-ayat itu bermakna bahwa masuknya seseorang ke dalam surga karena amal ibadahnya, kemudian mendapat taufik untuk melakukan amal ibadah itu dan mendapat hidayah untuk ikhlas dalam ibadah sehingga diterima di sisi Allah, adalah berkat rahmat Allah dan karuniaNya. Maka, yang benar adalah tidaklah seseorang dimasukkan ke dalam surga semata-mata amal ibadahnya. Yang benar adalah adalah bahwa seseorang masuk ke surga dengan amal-amalnya yaitu dengan sebab-sebabnya, dan itu adalah bagian dari rahmat itu sendiri. Wallahu A'lam. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 9 /197. Mawqi' Ruh Al Islam)
Syaikh Ismail Haqqi Al Istambuli Al Hanafi Rahimahullah menjelaskan:
أي : ولا أنا أدخل الجنة بعمل إلا برحمة الله. وليس المراد به توهين أمر العمل ، بل نفي الاغترار به وبيان أنه إنما يتم بفضل الله
Yaitu: tidak pula saya dimasukkan ke surga karena amal, kecuali dengan rahmat Allah. Maksudnya bukan berarti meremehkan urusan amal, tetapi ini dalam rangka meniadakan keterpedayaan dengan amal tersebut, dan penjelasan bahwa amal itu disempurnakan dengan karunia Allah. (Tafsir Ruh Al Bayan, 8 /334)
Jadi, tidak ada pertentangan antara ayat-ayat dan hadits- hadits tersebut. Manusia dimasukkan ke dalam surga karena rahmatNya yang diperoleh melalui sebab-sebab yakni amal shalih yang dilakukannya, dan amal shalih adalah bagian dari rahmat dan karunia dariNya.

Makna Kata dan Kalimat
عن أبي عبد الله جابر بن عبد الله الأنصاري رضي الله عنهما: Dari Abu Abdullah Jabir bin Abdullah Al Anshari Radhiallahu 'Anhuma
Ada dua orang sahabat nabi yang bernama Jabir bin Abdullah, keduanya sama-sama orang Anshar (Al Anshari) dan sama- sama dari Bani Salamah (As Salami).
Jabir yang pertama Imam Ibnul Atsir Rahimahullah menceritakan:
جابر بن عبد الله بن رئاب بن النعمان بن سنان بن عبيد بن عدي بن غنم بن كعب بن سلمة الأنصاري السلمي شهد بدرا وأحدا والخندق وسائر المشاهد مع رسول الله صلى الله عليه و سلم وهو من أول من أسلم من الأنصار قبل العقبة الأولى
Jabir bin 'Abdullah bin Ri'ab bin An Nu'man bin Sinan bin 'Ubaid bin 'Adi bin Ghanam bin Ka'ab bin Salamah Al Anshari As Salami. Beliau ikut serta perang Badar, Uhud, Khandaq, dan semua pertempuran bersama Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Dia termasuk yang awal masuk Islam dari kalangan Anshar sebelum bai'at 'Aqabah yang pertama. [1] (Usadul Ghabah, Hal. 162)
Jabir yang kedua -dan inilah yang meriwayatkan hadits yang sedang kita bahas:
جابر بن عبد الله بن عمرو بن حرام بن كعب بن غنم بن كعب بن سلمة يجتمع هو والذي قبله في غنم بن كعب وكلاهما أنصاريان سلميان وقيل في نسبه غير هذا وهذا أشهرها وأمه : نسيبة بنت عقبة بن عدي بن سنان بن نابي بن زيد بن حرام بن كعب بن غنم تجتمع هي وأبوه في حرام يكنى أبا عبد الله وقيل : أبو عبد الرحمن والأول أصح شهد العقبة الثانية مع أبيه وهو صبي وقال بعضهم : شهد بدرا وقيل : لم يشهدها وكذلك غزوة أحد
Jabir bin 'Abdullah bin 'Amru bin Haram bin Ka'ab bin Ghanam bin Ka'ab bin Salamah - beliau dan Jabir sebelumnya nasabnya bertemu pada Ghanam bin Ka'ab. Keduanya adalah orang Anshar dan dari Bani Salamah. Ada yang menyebutkan nasabnya selain yang ini, tapi ini yang paling masyhur. Ibunya Nusaibah binti 'Uqbah bin 'Adi bin Sinan bin Nabiy bin Zaid bin Haram bin Ka'ab bin Ghanam - nasab ibu dan ayahnya bertemu pada Haram. Dia diberi kun-yah (gelar) Abu 'Abdullah, ada juga yang mengatakan Abu Abdurrahman, tapi yang pertama lebih shahih. Dia ikut serta dalam bai'at 'Aqabah kedua bersama ayahnya dan saat itu masih anak-anak, sebagian manusia mengatakan: dia ikut perang Badar. Sebagian lain mengatakan: dia tidak ikut Badar, begitu pula perang Uhud. (Ibid)
Al Kalbi mengatakan bahwa Abu Abdillah Jabir bin Abdullah, ikut perang Uhud, dan ikut perang bersama nabi 18 kali, dan beliau adalah termasuk peserta bai'at 'Aqabah yang terakhir wafat di Madinah. (Ibid)
Tetapi Jabir Radhiallahu 'Anhu sendiri berkata:
غزوت مع رسول الله صلى الله عليه و سلم سبع عشرة غزوة قال جابر : لم أشهد بدرا ولا أحدا
Saya ikut berperang bersama Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sebanyak 17 kali. Jabir berkata: "Saya tidak ikut perang Badar dan Uhud." (Ibid)
Imam Ibnu Abdil Bar Rahimahullah mengatakan, bahwa yang menyebut Beliau sebagai peserta Badar tidaklah benar, karena beliau sendiri mengatakan tidak ikut. Sedangkan Imam Bukhari menyebutkan bahwa Beliau ikut perang Badar. Abu Ahmad Al Hakim menyebutkan bahwa Jabir ikut perang bersama nabi sebanyak 18 kali. Sedangkan Ibnu Al Kalbi mengatakan bahwa Jabir berkata: "Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berperang 21 kali, dan aku ikut 19 kali bersamanya." (Imam Ibnu Abdil Bar, Al Isti'ab, 1 /65)
Beliau termasuk sahabat nabi yang banyak meriwayatkan hadits, Imam Ibnul Atsir mengatakan:
وكان من المكثرين في الحديث الحافظين للسنن روى عنه محمد بن علي بن الحسين وعمرو بن دينار وأبو الزبير المكي وعطاء ومجاهد وغيرهم
Dia termasuk yang banyak haditsnya dan termasuk penghapal sunah nabi. Telah meriwayatkan darinya Muhammad bin 'Ali bin Al Husein, 'Amru bin Dinar, Abu Az Zubair, 'Atha, Mujahid, dan selain mereka. (Ibid)
Di akhir umurnya beliau mengalami gangguan penglihatan. Beliau wafat pada tahun 74 H, ada juga yang menyebut 77 H, dan ada juga yang menyebut tahun 78 H, dia dishalatkan oleh Abban bin 'Utsman yang saat itu sebagai gubernur Madinah, dan wafat pada usia 94 tahun. (Ibid, Hal. 163 . Lihat juga Al Isti'ab, 1 /65- 66)
Selanjutnya:
أن رجلا سأل رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم: bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa 'ala Aalihi wa Sallam, lalu dia berkata
Laki-laki tersebut adalah An Nu'man bin Qauqal. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 1 /78 . Fathul Bari, 6 /41 , Usadul Ghabah, 1069 , At Tuhfah Ar Rabbaniyah, Syarah No. 22 , Fathul Qawwi Al Matin, Hal. 68, dll)
Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah menceritakan tentangnya:
Dia adalah An Nu'man bin Qauqal bin Ashram bin Fihr bin Tsa'labah bin Ghanam bin 'Umar bin 'Auf. Musa bin 'Utbah dan Ibnu Ishaq menceritakan bahwa Beliau termasuk yang syahid pada perang Uhud, dan ikut pada perang Badar. Ibnu Hibban mengatakan bahwa Beliau bersahabat dekat dengan nabi.
Al Baghawi meriwayatkan dari jalan Khalid bin Malik Al Ju'di, katanya: aku temukan dalam kitab ayahku bahwa An Nu'man bin Qauqal Al Anshari berkata:
أَقْسَمْت عَلَيْك يَا رَبّ أَنْ لَا تَغِيب الشَّمْس حَتَّى أَطَأ بِعَرْجَتِي فِي الْجَنَّة
Aku bersumpah kepadaMu ya Rabb, tidaklah matahari terbenam sampai aku menapakkan dengan kakiku yang pincang ini di dalam surga.
Lalu Beliau syahid pada hari perang Uhud, dan Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
رأيته يطأ فيها وما به من عرج
Saya melihat menapak di dalamnya dan dalam keadaan pincang. (Al Ishabah fi Tamyiz Ash Shahabah, 6 /451)
Dalam Fathul Bari hanya disebut: "Laqad ra'aytuhu fil jannah - saya telah melihatnya di surga." (Fathul Bari, 6 /41)
Selanjutnya:
أَرَأَيْتَ : apa pendapatmu
Yaitu beritahu saya bagaimana pandangan, penilaian, dan komentar Anda, yakni Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
Syaikh 'Athiyah bin Muhammad Salim Rahimahullah mengatakan: "A'limniy wa akhbirniy - ajarkan saya dan beritahukan saya." (Syarh Al Arbain An Nawawiyah, Syarah Hadits No. 22)
إِذَا صَلَّيْتُ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَاتِ: jika saya melaksanakan shalat wajib
Yakni shalat yang lima kali dalam sehari, tidak lebih. Ada pun Imam Abu Hanifah Rahmatullah 'Alaih menyebutkan shalat witir juga wajib. Tetapi, dia sendirian dalam pendapatnya ini. Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:
وما ذهب إليه أبو حنيفة من وجوب الوتر فمذهب ضعيف. قال ابن المنذر: لا أعلم أحدا وافق أبا حنيفة في هذا.
"Apa yang menjadi pendapat Abu Hanifah bahwa witir adalah wajib merupakan pendapat yang lemah. Berkata Imam Ibnul Mundzir: "Aku tidak mengetahui seorang pun yang setuju dengan Abu Hanifah dalam hal ini." (Fiqhus Sunnah, 1 /192. Dar Al Kitab Al 'Arabi)
Selanjutnya:
وَصُمْتُ رَمَضَانَ: saya berpuasa pada Ramadhan
Yaitu saya berpuasa yang wajib selama bulan Ramadhan dengan sebenar-benarnya. Untuk masalah puasa Ramadhan sudah di bahas pada Syarah Hadits Arbain ke 3 dan 4.
Selanjutnya:
وَأَحْلَلْتُ الْحَلَالَ: saya menghalalkan yang halal
Yaitu saya meyakini yang halal adalah halal, tidak merubahnya menjadi haram, dan saya mengamalkannya dengan tidak ragu atas kehalalannya. Sebab asy syaari' (pembuat syariat) dan yang menentukan halal dan haram adalah Allah Ta'ala bukan manusia.
Imam An Nawawi Rahimahullah secara ringkas sudah menjelaskan maksud kalimat ini, menurutnya:
ومعنى أحللت الحلال فعلته معتقدا حله
Maknanya: menjalankannya dengan keyakinan kehalalan perbuatan itu.
Selanjutnya:
وَحَرَّمْتُ الْحَرَامَ: saya mengharamkan yang haram
Yaitu saya meyakini yang haram adalah haram, tidak merubahnya menjadi halal, dan saya menjauhkannya dan tidak ragu atas keharamannya.
Syaikh 'Athiyah bin Muhammad Salim Rahimahullah menjelaskan:
فإحلال الحلال وتحريم الحرام ينبغي أن يُعلم أنه ليس للعبد وليس للسائل، إنما هو لله، { إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ } [يوسف:40]، فالله سبحانه وتعالى هو الذي يحله الحلال وهو الذي يحرم الحرام، ومن نصب نفسه محللاً أو محرِّماً فقد نصب نفسه نداً لله، ومن أطاع مخلوقاً في تحريم ما لم يحرمه الله، وفي تحليل ما لم يحلله الله، فقد اتخذ شريكاً مع الله، ولما قرأ رسول الله صلى الله عليه وسلم قوله تعالى: { أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ } [الشورى:21]. فقال عدي بن حاتم : ( يا رسول الله! ما اتخذناهم أرباباً من دون الله.
قال: ألم يكونوا يحرمون عليكم الحلال فتحرمونه، ويحلون لكم الحرام فتحلونه؟! قال: بلى.
قال: فتلك عبادتكم إياهم ).
Hendaknya diketahui, menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram bukanlah hak hamba dan hak si penanya, sesungguhnya itu adalah hak Allah Ta'ala: (Inil hukmu illa lillah - hukum itu hanya milik Allah), maka Allah Ta'ala yang berhak menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram, barang siapa yang mengambil bagian bagi dirinya untuk menghalalkan dan mengharamkan, sama juga dia mengajak dirinya pada posisi sebagai Allah Ta'ala. Barangsiapa yang mentaati makhluk dalam mengharamkan apa yang Allah Ta'ala tidak haramkan, dan menghalalkan apa yang Allah Ta'ala tidak halalkan, maka dia telah mengambil sekutu bagi Allah Ta'ala.
Ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam membacakan firmanNya: Apakah mereka mempunyai sembahan- sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? (QS. As Syura: 21)
Maka 'Adi bin Hatim berkata: "Wahai Rasulullah, kami tidak menjadikan mereka sebagai Rabb selain Allah."
Nabi bersabda: "Apakah mereka mengharamkan atas kalian apa- apa yang halal, dan kalian ikut mengharamkannya, dan mereka menghalalkan untuk kalian apa- apa yang haram, lalu kalian juga menghalalkan?"
'Adi bin Hatim menjawab: "Benar."
Nabi bersabda: "Itulah peribadatan kalian kepada mereka." (Syarh Al Arbain An Nawawiyah, No. 22)
Selanjutnya:
وَلَمْ أَزِدْ عَلَى ذَلِكَ شَيْئًا: dan saya tidak menambahkan hal itu sedikit pun
Yakni saya mencukupkan dengan yang wajib-wajib saja dan saya meninggalkan larangan Allah dan RasulNya, tidak menambahkan dengan sunah dan semisalnya.
Syaikh 'Athiyah bin Muhammad Salim Rahimahullah mengatakan:
فإن أقل ما ينبغي على المسلم إنما هو ما جاء في هذا الحديث: أداء الواجبات، وترك المحرمات.
Sesungguhnya paling minim bagi seorang muslim yang terkandung dalam hadits ini adalah: menunaikan kewajiban- kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan. (Ibid)

Ada penjelasan bagus dari Syaikh Abdul Muhsin Hamd Al 'Abbad Al Badr Hafizhahullah:
و في الحديث ذكر القيام بالواجبات، وليس فيه ذكر المستحبَّات، ومَن كان كذلك فهو المقتصد في قوله تعالى: { ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ } ، وفعل الواجبات وترك المحرَّمات سبب في دخول الجنَّة، لكن الإتيان بالنوافل مع الفرائض يكمَّل بها الفرائض إذا لم يكن أتَمَّها
Pada hadits ini menyebutkan tentang pengamalan kewajiban- kewajiban, bukan menyebutkan hal-hal yang mustahab (sunah), dan siapa saja yang seperti ini maka dia termasuk golongan pertengahan menurut firmanNya Ta'ala: (Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba- hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang Menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah). Melakukan berbagai kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang haram merupakan sebab masuknya ke surga, tetapi melakukan amalan sunah bersamaan dengan fardhu akan menyempurnakan kewajiban- kewajiban itu, jika memang kewajiban itu belum sempurna. (Fathul Qawwim, Hal. 68)
Jadi, tidak berarti meremehkan hal-hal yang sunah, tetapi ini menunjukkan posisi penting perkara-perkara fardhu, dan menunjukkan kedudukannya yang mesti diprioritaskan.
Syaikh Ismail Al Anshari Rahimahullah mengatakan:
جواز ترك التطوعات على الجملة إذا لم يكن من قبيل التهاون
Dibolehkan meninggalkan hal-hal sunah secara umum, jika dia melakukannya bukan karena meremehkan. (Tuhfah Ar Rabbaniyah, Syarah No. 22)
Selanjutnya:
أَأَدْخُلُ الْجَنَّةَ: apakah saya akan masuk surga ?
Yakni apakah dengan melakukan hal-hal itu saja saya bisa masuk surga, padahal saya tidak menambahkan dengan yang lainnya?
Lalu:
قَالَ نَعَمْ: Beliau bersabda: ya
Yakni benar, kamu akan masuk surga jika kamu jujur dengan apa yang kamu katakan dan kerjakan.
Oleh karena itu Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mengatakan dalam riwayat lain:
أَفْلَحَ إِنْ صَدَقَ أَوْ دَخَلَ الْجَنَّةَ إِنْ صَدَقَ
Dia akan beruntung juga benar, atau dia masuk surga jika dia benar. (HR. Bukhari No. 1891)
Selesai. Wallahu A'lam

[1] Dalam sejarah, pada masa Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam terjadi tiga bai'at yang terkenal.
Bai'at 'Aqabah pertama , yaitu bai'at pertama yang dilakukan oleh 12 orang Madinah di bukit 'Aqabah, mereka berikrar untuk tidak menyekutukan Allah Ta'ala, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak, tidak mengumpat dan memfitnah, baik di depannya atau di belakang. Jangan menolak berbuat kebaikan. Barang siapa yang mentaati maka mendapat pahala surga, dan jika ada yang mengecoh, maka urusannya kembali kepada Allah ta'ala. Allah ta'ala berkuasa menyiksa, juga berkuasa mengampuni segala dosa.
Bai'at 'Aqabah kedua , dilakukan oleh pada malam hari di bukit 'Aqabah, oleh jamaah haji sebanyak 75 orang sahabat nabi, 73 pria dan dua wanita. Mereka menunjuk 12 orang wakil, sembilan dari Khazraj dan tiga dari Aus untuk ikrar kepada nabi. Bai'at ini terjadi menjelang hijrah sebagai penguatan bagi mereka. Mereka berikrar untuk dengar dan taat baik suka dan duka, bahagia dan sengsara, berkata benar di amans aja berada, dan tidak takut kritikan dalam berjuang fisabilillah.
Bai'at Ridwan , yaitu bai'at di bawah pohon, yang terjadi menjelang perjanjian Hudaibiyah, saat itu kafir Quraisy berkali-kali mengintai kaum muslimin dengan mengirim mata-mata, akhirnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mengutus Utsman bin 'Affan Radhiallahu 'Anhu kepada Quraisy bahwa mereka datang dengan damai untuk berhaji. Namun setelah itu Utsman tidak pulang-pulang. Akhirnya, kaum muslimin berkumpul berbai'at kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam untuk sumpah setia untuk menghadapi kemungkinan paling buruk dari kaum Qurasiy, yaitu perang. Tangan nabi yang satunya menggenggam tangan beliau yang lainnya, sebagai simbol tangan Utsman. Allah Ta'ala berfirman:
لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا
"Allah sudah rela sekali terhadap orang-orang beriman tatkala mereka berikrar kepadamu di bawah pohon. Tuhan telah mengetahui isi hati mereka, lalu di turunkanNya kepada mereka rasa ketenangan dan memberi balasan kemenangan kepada mereka dalam waktu dekat ini." (QS. Al Fath: 18)
Ternyata Utsman pulang dengan selamat............ (Semua kisah bai'at ini ada dalam berbagai kitab sirah, seperti Hayatu Muhammad-nya Syaikh Husein Haikal, Fiqhus Sirah-nya Syaikh Al Ghazali, Sirah Nabawiyah-nya Syaikh Said Ramadhan Al Buthi, Sirah Nawabiyah-nya Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarkafuri, dll)
Tags: syarah hadits arbain



<<BACK